Difa bukan lah murid yang populer di kelas. Sikapnya yang introvert dengan tubuh ringkihnya menyebabkan ia sering dibuly teman-temannya. Difa pun menjadi murid yang penyendiri.
Apabila jam istirahat tiba, Difa lebih memilih bermain di sudut sekolah bersama sahabat imajinernya. ‘Sahabat’ yang sering ia panggil dengan nama “Mas Aji”.
Seperti yang ia lakukan hari ini. Ketika bel istirahat berbunyi, Difa beranjak ke sudut pagar sekolah yang sepi dari hingar-bingar murid lainnya. Dan seperti biasa, ia menemui ‘sahabatnya’. ‘Sahabat’ yang selalu memahami tentang dirinya.
“Tadi Pak Guru menyuruh setiap murid menuliskan tentang cita-citanya, Mas. Difa gak tau harus nulis apa, karena Difa gak punya cita-cita. Difa takut, cita-cita hanya akan membebani hidup Difa dengan rasa takut gagal mencapainya. Bukankah rasa takut hanya membuat kita menjauhi kedamaian?” curhat Difa.
‘Mas Aji’ yang selalu wise hanya tersenyum. Menepuk punggung Difa, seraya berkata: “Kita hidup di zamanmodern, Dif. Di satu sisi kita diharuskan menata masa depan. Kita takut masa depan akan kacau apabila kita tidak menatanya. Sementara, sisi lainnya, kita juga mempertakutkan kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat di masa lalu. Karena hidup ternyata tak semudah yang kita bayangkan.”
Hening sejenak, karena Difa lama untuk mencerna kalimat ‘sahabatnya’ itu.
Mas Aji pun melanjutkan: “Rasa takut mengaburkan kejernihan berpikir. Rasa takut juga menciptakan penderitaan batin yang besar. Banyak orang terjebak di dalam depresi, karena rasa takut yang berlebihan. Banyak orang jatuh ke dalam ketergantungan narkoba dan perilaku menyimpang lainnya, karena penderitaan batin dan rasa takut di dalam hati mereka. Orang yang menderita cenderung kejam, tidak hanya pada dirinya sendiri tetapi juga pada orang lain.”
“Lantas, kenapa Mas Aji pergi dari sekolah Kompasiana ini? Apa yang Mas Aji takutkan?” Difa pun akhirnya berani mempertanyakan kepergian sahabat imajinernya itu.
Mas Aji hanya tertawa. “Dif, akar ketakutan manusia itu terletak pada kegagalannya memahami arti hidup sesungguhnya.Artinya, ketika orang gagal memahami kenyataan apa adanya, ia melihat dunia hanya semata dengan pikiran dan perasaannya, yang seringkali jauh dari kebenaran. Saya gak pergi dari sekolah, Dif. Hanya mencoba mengheningkan kata..”
“Maksud Mas Aji?”
“Di sekolah Kompasiana, kita telah banyak membagikan banyak sekali kesaksian dengan Kata. Kesaksian yang tumbuh dari peristiwa sehari-hari dari dunia yang tumpang tindih. Kesaksian kita adalah cuplikan riwayat hidup jelata yang terseok, juga tentang kota yang tumbuh mengangkasa dengan keangkuhan konsumerisme yang ringkih tapi tetap meminggirkan mereka yang kurang beruntung. Juga tentang politik yang makin mirip perayaan "mentalitas pemandu sorak". Kau dan aku mencoba berdiri dalam rangkai peristiwanya, menyusun cerita yang selalu memaksa menunda lupa dan menentang kemungkinan diri menjadi bagian dari jenis yangngehe dan reaksioner.”