Mohon tunggu...
Laura Irawati
Laura Irawati Mohon Tunggu... Direktur Piwku Kota Cilegon (www.piwku.com), CEO Jagur Communication (www.jagurtravel.com, www.jagurweb.com) -

Mother, with 4 kids. Just living is not enough... one must have sunshine, most persistent and urgent question is, 'What are you doing for others?' ;)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Sunny di Populi Center?

30 April 2016   22:49 Diperbarui: 1 Mei 2016   09:46 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: Roficky.wordpress.com

Jelang pilpres 2014 yang lalu, seorang surveyor memaparkan hasil surveinya pada sebuah acara di stasiun tivi:

“Sejumlah responden kami tanyai, seandainya pilpres jatuh pada hari ini siapakah yang anda pilih. 100 persen menjawab memilih Prabowo...”

“Lho, kok bisa 100 persen? Metodologi apa yang anda pakai?” tanya pembawa acara.

“Saya melakukan surveinya di kantor Gerindra.”

Ternyata pemaparan survei itu dilakukan oleh Cak Lontong di acara Indonesia Lawak Klub (ILK) dan tujuannya pun hanya untuk hiburan semata. Tapi, meskipun guyon, publik jadi bertanya-tanya tentang keakuratan dan metodologi yang digunakan lembaga-lembaga survei selama ini.

Keberadaan lembaga survei sudah merupakan kebutuhan dasar sistem demokrasi. Demokrasi akan berfungsi efektif dan stabil jika responsif terhadap persepsi, harapan dan evaluasi publik. Monitoring opini publik secara berkala akan menjadi masukan bagi proses politik dan pembuatan kebijakan. Survei yang dilakukan secara benar merupakan cara yang paling efisien, efektif dan akurat untuk memantau opini publik.

Dengan demikian, pemerintahan yang demokratis akan menjadi semakin legitimate, stabil, bertanggungjawab, dan efektif. Dengan cara itu pula survei opini publik menjadi ‘barometer’ aspirasi masyarakat dalam rumusan pembuatan kebijakan. Karena itu survei opini publik bisa menjadi pilar demokrasi kelima setelah lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan pers.

Dan metodologi survei yang dilakukan Cak Lontong di atas jelas bukanlah survei yang benar, alias ngawur. Lantas, bagaimana sih survei yang benar itu?

Belum lama ini, Lembaga Populi Center merilis hasil survei terkait tingkat popularitas dan elektabilitas sejumlah tokoh. Survei dilakukan mengingat pada 2017 akan dilaksanakan pemilihan Gubernur DKI Jakarta.

Menarik untuk disimak, ditengah terpaan badai kasus RS Sumber Waras dan kasus raperda reklamasi, berdasarkan survei Populi elektabilitas Ahok malah meningkat. Meski diterpa kontroversi, elektabilitas Ahok sedikit naik dibanding bulan Februari 2016, yaitu dari 49,5 persen menjadi 50,8 persen.

Pengukuran elektabilitas ini dilakukan dengan pertanyaan terbuka atau top of mind. Setiap responden diajukan pertanyaan, "Jika Pilkada DKI Jakarta dilakukan hari ini, siapa yang paling layak dipilih menjadi Gubernur DKI Jakarta".

Survei melibatkan 400 responden yang tersebar di enam wilayah DKI. Survei dilakukan dengan wawancara tatap muka pada 15-21 April 2016. Responden pun dipilih secara acak bertingkat ataumultistage random sampling, dengan margin of error lebih kurang 4,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

Dalam kasus Sumber Waras misalnya, Populi mencatat 27,2 persen responden yang mengaku lebih percaya Ahok. Responden yang memercayai BPK RI sebesar 19 persen. Meski demikian sebanyak 53,8 persen warga mengaku tidak mengetahui kasus tersebut dan memilih untuk tidak menjawab.

Tak hanya pada kasus Sumber Waras, sebagian responden juga tidak percaya Ahok terlibat kasus dugaan suap reklamasi Pantai Utara Jakarta. Sebanyak 34,2 persen responden tidak percaya Ahok terlibat kasus tersebut. 19,5 persen warga percaya Ahok terlibat. Kemudian 2,5 persen warga sangat tidak percaya Ahok terlibat, malah 64,5 persen warga percaya bahwa oknum anggota DPRD DKI-lah yang terlibat kasus ini.

Dan yang menarik, 23,8 persen warga tidak mengetahui kasus tersebut, 20 persen warga tidak menjawab ketika ditanyai terkait kasus tersebut. Itu artinya kasus yang bergulir ternyata tidak menyita perhatian masyarakat, otomatis tidak berpengaruh terhadap pilihan mereka.

Masalahnya, walaupun Populi Center sudah mempublish metodologinya secara transparan, publik masih mempertanyakan tingkat keobjektifan lembaga tersebut. Hal ini karena diketahui salah satu Board of Advisor lembaga tersebut adalah Sunny Tanuwidjaja yang disebut-sebut memiliki kedekatan khusus dengan Gubernur Ahok.

Berbeda dengan Populi Center, Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) dalam surveinya, elektabilitas Ahok justru melorot pasca-pemanggilan oleh KPK dalam kasus Sumber Waras.

Menurut Kedai Kopi, elektabilitas Ahok pada Januari lalu mencapai 43,25 persen. Pada Februari, elektabilitasnya naik menjadi pada 43,5 persen. Bahkan, pada Maret, elektabilitas Ahok meningkat tajam hingga 51,80 persen. Pasca pemanggilan oleh KPK, elektabilitasnya melorot menjadi 45,5 persen.

Hasil survei Kedai Kopi, 34,8 persen responden berpendapat bahwa Ahok tidak terlibat kasus pembelian Rumah Sakit Sumber Waras. Sementara itu, 36, 5 persen responden yakin Ahok tak terlibat dalam kasus suap reklamasi Teluk Jakarta.

 Pasca pemanggilan Ahok oleh KPK, sebanyak 34,5 persen responden menyatakan tetap memilih Ahok. Sementara 30 persennya, ragu-ragu. Sisanya 16,5 persen menyatakan tak akan memilih Ahok pada Pilgub mendatang.

Survei digelar 18-21 April dengan jumlah responden sebanyak 400 yang tersebar secara proporsional di 40 kelurahan DKI Jakarta. Responden adalah pemilih yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah. Survei diperoleh melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner dengan sample panel dan tingkat kesalahan +/- 4,9 persen serta tingkat kepercayaan 95 persen.

Metodologi yang digunakan relatif sama, kok bisa ya hasilnya beda? Apakah terdapat kesalahan pada hasil survei? Atau betulkah survei dapat dimanipulasi demi kepentingan klien?

Hasil survey memang nyaris presisi karena sampelnya merupakan jumlah suara faktual, walaupun pemilih sangat mungkin mengubah pilihan pada saat pencoblosan. Namun, batas kesalahan (margin of error) bisa ditetapkan oleh masing-masing peneliti atau lembaga tergantung dari seberapa banyak responden yang diambil. Semakin banyak responden yang diambil, semakin kecil margin of errorsebuah hasil survei.

Menurut Dewan Etik Perhimpunan Survey Opini Publik Indonesia (Persepi), jika ada perbedaan hasil survei, maka pasti salah satunya salah. Oleh karenanya Dewan Etik Persepi akan melakukan audit atas pelaksanaan survei yang dilakukan oleh anggotanya.

Dewan Etik Persepi menguji metodologi semua lembaga survei dalam melakukan survei tersebut dengan menggunakan standar metodologi umum yang harus dipenuhi setiap lembaga survei, diantaranya dalam menentukan sample harus mewakili karakter suara di daerah tersebut. Biasanya, penentuan sample menggunakan metode random sampling.

Selain masalah sample, mekanisme tabulasi atau pengumpulan data juga penting. Setiap lembaga survei harus membuka proses tabulasi kepada publik. Media pengiriman data dari sumber data di lapangan ke pusat penghitungan harus bisa dipertanggungjawabkan.

Setiap proses input data harus disertai verifikasi, cek dan ricek ke sumber dilapangan. Hal ini untuk mencegah data yang diinput ternyata salah. Dengan metodologi yang sudah baku itu, setiap lembaga survei akan dijaga kredibilitasnya. Jika menyalahi, maka akan dikeluarkan dari keanggotaan Persepi.

Ada tujuh lembaga survei yang ada di bawah bendera Persepi, yaitu Lembaga Survei Indonesia, Indikator, SMRC, Cyrus Network, Populi Center, JSI dan Puskaptis.

Lho, Kedai Kopi kok gak ada? Terus gimana ngauditnya?

Seain Populi Center, ini hasil survei lembaga-lembaga survei anggota Persepi mengenai Pilkada DKI 2017:

Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dalam surveinya yang dirilis 14 Oktober 2015: Ahok unggul jauh dari para bakal calon pesaingnya. Mayoritas responden mendukung Ahok kembali untuk memimpin DKI Jakarta. Ahok mendapat dukungan sebesar 23,5 persen, disusul Ridwan Kamil di bawahnya sebanyak 3 persen.

Cyrus Network, 7 Mei 2015: Ada 3 nama yang mempunyai penilaian tertinggi, yakni Ahok sebesar 96,6 persen, disusul Risma 74,5 persen dan Emil 73 persen. Sementara tingkat kesukaan kesukaan terhadap ketiganya hampir seimbang. Ahok mendapat poin 62 persen, sedangkan Emil 62,7 persen dan Risma 65,6 persen.

Semoga Cak Lontong gak ikut-ikutan melakukan survei.

Sumber: 

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/25/17525791/Populi.Center.Elektabilitas.Ahok.dan.Yusril.Sama-sama.Naik

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/25/13501571/Populi.Center.Soal.Sumber.Waras.Warga.Lebih.Percaya.Ahok.Dibanding.BPK

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun