[caption caption="Image Source: wall.alphacoders.com"][/caption]
Gayus terkejut. Tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan bosnya. Bercandakah dia?
“Ayo lah, kali ini saja tolonglah Kami. Tolong keluarga Kami...”
“Tapi...”
Si Bos tetap memaksakan permintaannya, “Sepanjang hidup Kami sekeluarga, tak pernah sekalipun kami mematuhi permintaan ayah Kami. Inilah saatnya. Almarhum hanya berwasiat jelang kematiannya agar ada yang menemaninya tidur di dalam kuburnya. Hanya satu malam saja.”
“Tapi, Pak...”
Kembali Si Bos memotong, “Aku ngerti, aku ngerti maksudmu. Kami sekeluarga sudah merundingkan semuanya. Hanya Kamu orang yang bisa kupercayai untuk melakukan ini. Dan Kami telah sepakat akan memberimu lima ratus juta. Ayo lah, hanya malam ini saja. Jika Kamu menolak, Kamu telah menyakiti hatiku, menyakiti almarhum ayahku dan keluargaku.”
.....
Edhian! Wasiat edhian! Bos edhian! Keluarga edhian...! Gayus keluar dari ruangan bosnya sambil merutuk dalam hati. Urusan mati, urusan kubur, kok dipake mainan. Aku memang bukan koruptor seperti Gayus Tambunan yang uangnya milyaran, Aku hanya Office Boy di kantor ini, tapi mbok ya jangan disuruh-suruh seenaknya, Gayus semakin merutuk. Ikut dikubur menemani orang mati? Hiiiy... membayangkannya saja sudah merinding.
Tapi lebih edhian lagi omongan istrinya, saat Gayus pulang menceritakan permintaan bosnya itu. “Mas..., Mas..., hanya orang goblok yang gak mau menerima uang lima ratus juta itu. Jumlah segitu sangat besar bagi kita, Mas. Kita bisa beli rumah dan gak ngontrak lagi, kita bisa beli sawah di kampung. Sisanya masih banyak untuk ditabung.”
“Tapi...”
Munaroh, istrinya memotong dengan nyinyir, “Terima saja uang itu, Mas! Permintaan bosmu itu hanya pekerjaan mudah kok. Atau Aku harus pulang ke orangtuaku. Malu Aku karena begitu bodohnya menerimamu menjadi suamiku.”
“Tapi, Mun...”
“Takut? Mas Gayus takut? Mas, Mas, setan kuburan atau malaikat pencabut nyawa sekalipun akan lebih takut lagi jika merasakan kesusahan hidup yang kita jalani ini, Mas.”
Astaghfirullah al Azim, darimana Munaroh belajar kata-kata sekeji itu, batin Gayus.
.....
Gayus pun akhirnya menyetujui permintaan bosnya.
Malam seperti yang sudah disepakati, Gayus menggali kubur menggunakan cangkul miliknya, tepat bersebelahan dengan kuburan ayah bosnya. Ia mengubur dirinya dengan hanya menyisakan sedikit lubang untuknya bernafas. Permintaan aneh, dia masih menggerundel dalam hati, memberati desah nafasnya. Pikiran pun berkecamuk, uang banyak hadiah dari bosnya nanti, istri yang tega kepada suaminya, bagaimana kalau ada setan penjaga kuburan mendatanginya. Setan yang hobinya mencekik manusia seperti dalam film-film horor Indonesia. Teganya Engkau, Mun.
Suara angin dan binatang malam semakin memaksa jantungnya berdegup kencang.
Lelah menggali kantuk pun menjalar. Gayus tak menyadari kalau semenjak tadi ada dua lelaki mengamatinya dari kegelapan.
“Apa yang sedang Kau lakukan disini, Ki Sanak?”
Tentu saja Gayus terkejut setengah mati. Walaupun kemudian Ia senang juga mendapatkan Ia tak sendiri berada di tempat menakutkan ini. Alih-alih menghilangkan rasa takutnya Gayus pun menjelaskan kenapa Ia ada di tempat ini dan mengubur dirinya dengan cangkul miliknya itu.
“Ki Sanak, Kami perlu menanyakan banyak hal tentang apa saja yang Kau miliki, bagaimana Kau bisa memilikinya, dan kebaikan apa saja yang Kau pergunakan dengan apa yang kau miliki itu. Di mulai dari cangkul itu,” ujar salah seorang dari keduanya.
Rasa senang mendapatkan teman berubah menjadi kekesalan dalam diri Gayus dengan pertanyaan dua lelaki itu. Pertanyaan yang menurutnya lebih pas dilakukan petugas KPK kepada koruptor.
“Jika Kujelaskan tentang cangkul milikku seperti pertanyaan kalian itu, tentu akan makan waktu berhari-hari menerangkannya. Kalian siapa sih dan punya hak apa nanya-nanya macam begini?”
“Aku Munkar. Dan yang bersamaku ini Nakir.”
.....
Munaroh terbangun dari tidurnya karena suara pintu yang digedor-gedor suaminya.
“Lho, kok belum pagi sudah pulang, Mas? Ini kan melanggar kesepakatan dengan bosnya Mas dan Kita akan batal menerima uang lima ratus juta itu?”
Gayus yang tergopoh-gopoh dan wajahnya ketakutan menjawab dengan nafas tersengal-sengal, “Sudahlah , Mun. Aku baru saja ditanyai malaikat Munkar dan Nakir. Untuk sebuah cangkul saja Aku mungkin butuh waktu berhari-hari menjelaskannya, bagaimana dengan uang sejumlah lima ratus juta yang akan kita terima itu nanti. Biarlah urusan bosku dicekek arwah ayahnya itu bukan urusanku lagi.”
.....
Hehe... Kisah ini semata hanya fiksi. Terinspirasi oleh materi pengajian tadi sore dan heboh seputar koruptor di Kompasiana ini.
Nice Friday night.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H