Mohon tunggu...
Latif Samudro
Latif Samudro Mohon Tunggu... -

latif samudro

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Mama Kapan Pulang?

17 Mei 2016   21:47 Diperbarui: 18 Mei 2016   21:47 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pa…katanya besok  kalau Putri ulang tahun mama pulang bawa boneka buat putri ya” Kata Putri anakku pagi tadi ketika aku memandikannya.

Putri anak semata wayangku hasil pernikahanku dengan Lela, istriku yang sekarang kerja di HongKong sebagai buruh migran. Sudah hampir 2 tahun semenjak kepergian Lela aku sendiri yang mengurus segala keperluan Putri, mulai dari memandikan, menyiapkan makannya sampai menidurkannya. Aku berperan sebagai bapak sekaligus ibu bagi Putri. Belum lagi aku harus bekerja sebagai buruh pabrik. Bila sedang bekerja Putri terpaksa aku titipkan pada ibu di rumah.

Lela meninggalkan Putri sejak masih berusia 1,5 tahun. Di saat Putri sedang lucu-lucunya, belajar bicara dan jalan pun belum sempurna. Tapi karena tekad untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kuat, membuat Lela tega meninggalkan Putri bersamaku.

Aku memang hanya buruh pabrik garmen di kota kecilku, semenjak mengandung Putri Lela keluar dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik garmen yang sama. Awalnya memang cukup saja kebutuhan kami berdua dengan gajiku yang tak seberapa, namun sejak Putri lahir kebutuhan hidup semakin meningkat.

Kami juga masih menumpang pada ibuku. Aku sendiri merasa tidak enak hati bila di antara mereka berdua terjadi perselisihan, walaupun itu perselisihan kecil. Memang salahku tidak bisa memberikan tempat yang nyaman buat keluarga kecilku, agar bentrokan-bentrokan kecil antara mertua dan menantu tak terjadi.

Karena pengaruh kisah sukses teman-temannya yang sudah berkerja jadi TKW di Hongkong maka Lela akhirnya tertarik juga. Untuk mencoba keberuntungan di negeri yang sama sekali asing bagi kami.

“Mas…aku mau minta izin untuk bekerja di Hongkong seperti Rita, boleh ya..” awalnya hanya gurauan kecil Lela saja, namun ternyata tekad Lela untuk kerja di Hongkong sangat kuat. Hingga malam itu hampir terjadi pertengakaran di antara kami.

“Mas…aku sudah mendatangai PJTKI segala persyaratan sudah diberikan… izinkan aku untuk mengurusnya ya…,” kata Lela saat kami sedang duduk di beranda rumah.

“Jadi… kamu sudah sampai ke PJTKI segala tanpa sepengetahuanku, terus kau tinggal begitu saja Putri ya.. harusnya kamu nunggu aku selo dulu…” kataku agak jengkel.

“Tapi... Mas sepertinya gak ada tanggapan dengan kata-kataku kemarin“

“Justru karena itu kamu harusnya menunggu sampai aku benar-benar mengizinkan bukan malah jalan sendiri gitu”

“Iya…sudah, sekarang Mas izinkan tidak…aku ke Hongkong, ingat Mas putri semakin besar semakin membutuhkan banyak biaya. aku juga sudah ingin punya rumah sendiri.. gak numpang sama mertua terus begini…” kata Lela pelan tapi penuh nada kecewa, wajahnya yang dulu cantik sekarang tampak agak pucat dan tak terawat, kasihan aku melihatnya.

Tapi penghasilanku sungguh tidak memadai dengan kebutuhan kami, apalagi akhir-akhir ini kami sering diliburkan karena tak ada orderan kata Sang Bos.

Setelah melalui pemikiran debat dan juga Tanya sana-sini akhirnya aku mengizinkan Lela untuk mengurus kepergiannya. Sejak saat itu akulah yang mulai banyak merawat Putri, sambil mempersiapkan bila saat Lela pergi Putri sudah terbiasa bersamaku.

Awalnya aku agak kerepotan mengurus Putri tapi Lela mengajariku untuk mengurus semua keperluan Putri anak kami.

Semua persyaratan akhirnya lengkap sudah tinggal nunggu panggilan untuk kabar mendapatkan majikan di Hongkong. Lela pun segera masuk ke tempat penampungan dan pelatihan tenaga kerja di Jakarta, bersama beberapa orang dari kampung kami.

Selama sebulan di tempat penampungan Lela jarang menghubungiku, karena jadwal pelatihan yang begitu ketat. Hingga akhirnya Lela mengabarkan kalau sudah mendapat calon majikan di Hongkong. Seminggu lagi Lela berangkat dari tempat penampungan di Jakarta. Ingin rasanya aku menenggoknya untuk bertemu terakhir kali, namun ongkos ke Jakarta sangat sulit aku dapat. Akhirnya aku merelakan kepergiannya tanpa menghantarkannya untuk yang terakhir kali.

Sampai di Hongkong, Lela segera mengabarkan kalau sudah sampai dan masih di tempat penampungan menunggu dijemput majikan, begitu katanya.

Bulan pertama kerja HP Lela disita tidak boleh menggunakan hp sama sekali, hanya sesekali Lela meminjam HP temannya yang sudah bekerja lama untuk menghubungiku.

Lela ternyata bukan ditempatkan di sebuah keluarga seperti perjanjian pada waktu berada berada di tempat penampungan namun ditempatkan di sebuah restoran. Pekerjaan Lela tiap hari mencuci mangkok-mangkok dari berbagai ukuran yang ribuan jumlahnya. Hari-hari pertama Lela merasakan capek yang luar biasa, apalagi jam istirahatnya sangat terbatas.

Pagi-pagi sekali sebelum restoran buka Lela sudah harus mengelap mangkok-mangkok itu, sampai siang jam 2 siang diberi waktu istirahat kurang dari satu jam untuk makan dan istirahat.

“Mas… aku gak tahan…disini kerjanya berat sekali, badanku, kakiku dan tanganku capek sekali, tapi bagaimana lagi, bosnya galak sekali sering memarahiku bila aku salah sedikit, aku sudah berusaha menghubungi agen yang di sini, katanya kalau aku pulang aku harus mengganti semua biaya kepergianku yang jumlahnya besar sekali, doakan aku untuk kuat ya Mas..” Begitu telpon Lela dengan suara terbata-bata menahan tangis dan capek.

Hatiku terasa hancur setelah mendapat telepon dari Lela, tidak rela rasanya istriku mendapat perlakuan semacam itu. Namun aku tetap membesarkan hatinya dan memberinya semangat, karena bagaimana pun itu sudah pilihannya sendiri, aku tak mampu mencegahnya.

Tiga bulan setelahnya Lela menelpon kalau sekarang sudah berganti majikan dan ikut dalam sebuah rumah tangga, namun kali ini pun Lela tidak bekerja tidak sesuai dengan deskripsi kerja yang ditanda-tanganinya. Karena di rumah yang luas terdiri dari 3 tingkat itu hanya dia sendiri yang bekerja. Anggota keluarganya pun banyak, selain suami istri dengan 2 anak, masih ada 2 manula. Walaupun begitu di tempat ini Lela merasa lebih nyaman karena majikannya tidak terlalu cerewet dan galak.

Seminggu sekali Lela bisa menelponku dan juga Putri, untuk sekedar melepas rindu lewat suara. Bila hari minggu tiba Lela bisa keluar berkumpul dengan teman –temannya sesama buruh migran. Banyak acara dan teman baru yang dicerita Lela kepadaku, aku agak merasa lega karena sepertinya Lela sudah bisa menyesuaikan diri dan banyak teman di sana.

Sebulan sekali Lela juga mengirim uang untuk keperluan Putri. Sampai setahun Lela masih setia telpon dan mengirim uang untuk Putri dan aku, sampai sebuah rumah bisa dibangun di samping rumah ibuku belum sampai rumah itu jadi kiriman uang dari Lela sudah macet. Kadang tiga bulan baru mengirim uang itupun jumlahnya tak seberapa. Kabarnya di sana Lela banyak kegiatan yang membutuhkan biaya.

Aku harus bekerja dan cari pinjaman sana-sini agar rumah bisa jadi, paling tidak bisa layak untuk ditinggali, jadi nanti kalau Lela pulang sudah tidak tinggal numpang bersama ibuku lagi.

Namun sayang beberapa bulan ini Lela sudah jarang, bahkan tidak pernah telpon lagi, terakhir kali Lela hanya mau bicara pada Putri saja, tidak mau bicara kepadaku.

Untuk itu aku berusaha mencari tahu apa yang terjadi dengan Lela. Dari foto yang dia kirim ke HP anaknya sepertinya dia bukan Lela yang dulu lagi, wajahnya cantik dan tomboy, ada tindik di hidungnya.

Menurut Narti tetangga yang berangkat ke Hongkong bersama Lela, menceritakan kalau di sana Lela akrab sekali dengan Tora, seorang TKW dari Indonesia juga, mereka akrab sekali kemana-mana berdua, kata Narti Lela pacaran dengan Tora yang juga wanita.

Deg… hatiku hancur tak terkira, kenapa Lela bisa terjerumus dengan pergaulan seperti itu. Bahkan hampir setiap malam Lela mengikuti pesta-pesta yang diadakan oleh teman-teman Tora. Pesta, seks dan minuman keras sudah akrab bagi Tora, dan hal itu sudah menular pula pada Lela.

Aku jadi tahu kenapa Lela tidak mau berbicara padaku lagi, dia memilih untuk telpon ke HP Putri langsung, Putri yang cerita padaku kalau Lela menjajikan untuk pulang di hari ulang tahunnya.

“Pah….apa mama jadi pulang? ulang tahunku kurang 3 hari.. kok mama tidak telpon” kata Putri yang walaupun umurnya baru 4 tahun sudah pinter menghitung hari. Dia sudah memberi tanda lingkaran merah besar di kalender saat ulang tahunnya tiba.

“Kita tunggu saja Putri, mudah-mudahan mamahmu, tidak mengingkari janjinya, kan mama selalu sayang Putri“ kataku membesarkan hati Putri, walaupun aku sendiri tidak yakin akan kedatangan Lela.

Pagi-pagi sekali tepat di hari ulang tahun Putri, aku dengar suara mobil berhenti tepat di depan rumah kami. Aku dan Putri yang sudah bangun sejak subuh segera berlari keluar dengan harapan itu Lela yang datang.

Seorang wanita berambut pendek dengan warna kemilau ungu, berkulit bersih dan bercelana agak ketat dan bersepatu high heels turun dari mobil. Aku masih ragu apa itu Lela, aku hanya berdiri terpaku menyaksikannya. Sebelum akhirnya wanita itu lari berhambur padaku.

“Maafkan saya Mas…maafkan saya..” kata wanita itu bersimpuh di pelukku, dan aku masih terpaku tak tahu apa yang harus aku lalukan. Apa aku harus jijik pada wanita ini ataukah aku akan memaafkannya.

Air mataku tak tahan juga untuk jatuh, aku segera mengambil dan memeluk wanita itu, setelah aku yakin kalau dia Lela.

“Maafkan juga aku yang membiarkanmu menjadi seperti ini“

Putri rupanya tahu kalau itu ibunya dan ikut Berhampur pelukan bersama kami.

Tapi sayang Lela hanya di rumah beberapa minggu setelah itu dia balik lagi ke Hongkong dan aku tak mampu mencegahnya seperti dulu lagi.

Ya Tuhan... lelaki macam apa aku ini... yang sangat lemah dalam melindungi keluargaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun