"Apa sudah subuh, Bu?" tanyaku.
"Bukan. Itu ada rame-rame apa di luar?"
Kutajamkan telinga. Benar, ada keriuhan di luar. Dengan mata masih setengah terpejam, aku bergegas keluar dari selimut, mencari-cari jaket, sarung dan payung. Istriku membuntutiku keluar. Di depan rumah, kutanya Pak Bagas yang tengah tergopoh menuju suatu tempat.
"Ada apa, Pak?"
"Loh, Pak Bekti enggak ikut ronda? Itu, pos ronda ditabrak truk, Pak."
"Astaghfirullah...,"
Aku segera membuntuti Pak Bagas. Mendesak, menyempil di antara payung-payung warga yang berkerumun, mencari celah mendekati pos ronda. Sebagian korban sudah dievakuasi dengan mobil Pak RT. Yang kulihat hanya Asto yang kakinya patah tertekuk ke arah yang salah, mengerang saat diangkat ke atas pick up.
Truk yang menabrak masih di tempatnya. Mukanya penyok setelah menabrak pohon asam di samping pos ronda. Katanya, si sopir diduga sudah tewas minum oplosan sebelum menabrak pos ronda.
Tak lama polisi dari polsek datang lalu membuat batas dari pita kuning. Semua warga masih bergerombol, mendengung, mengobrol.
"Budi bablas." Kata seseorang di tengah kerumunan.
"Katanya Budi sudah diramal Mbah Pono bakal sial hari ini." Seseorang lagi bicara, entah siapa.