"Jangan gitu. Uhuk... uhuk... kita setahun penuh dapat hujan, berarti rejeki lancar... hujan kan rejeki, uhukhuk...," kataku.
"Hujan memang rejeki, Pak. Tapi rejeki juga harus dijaga baik-baik. Kalau Pak Bekti batuk-batuk terus, rejekinya ikut keluar lo." Selonong Asto sambil nyengir kurang ajar. Memang kalau hujan dan dingin begini penyakit batukku selalu muncul. Sepertinya batuk memang sudah punya posko tersembunyi di paru-paruku, sehingga dia bisa muncul tiba-tiba sesuka-sukanya.
"Kalau gitu biar saya tadah batuknya, masukin botol, jadiin jimat biar rejeki lancar." Sambar Budi tak mau hilang kesempatan mengejekku. Mereka tertawa-tawa, sementara aku hanya bisa tersenyum kecut kehabisan akal mengelak ataupun membela diri.
Tawa mereka terhenti saat seekor gagak berkaok di atas atap pos ronda. Empat orang muda di dalam pos langsung membeku dengan wajah pucat. Mereka tak berani berbicara bahkan tampak takut pula ketahuan bernapas. Pasti tanpa bantuan Mbah Pono atau Ki Joko Pintar pun mereka sudah paham kalau burung hitam itu konon membawa kabar kematian.
Aku keluar dari pos ronda, memungut sebelah sandalku, lalu melemparkannya ke atap. Meskipun tak kena, tampaknya si gagak itu takut --entah karena sandalku atau karena batukku yang lebih fals dari kaokan mautnya---dan memilih terbang entah kemana.
"Uhuk... huk... kalian kan berani makan ayam, masak takut sama gagak, huk... huk...." Muka mereka pucat sambil saling berpandangan. Jaya mengemasi termos dan toples keripikku yang sudah kosong.
"Pak Bekti makin parah batuknya. Pulang saja ya, Pak." Bujuk Budi.
Mungkin mereka merasa kalau melempar gagak dengan sandal bisa membawa sial, dan kesialan mudah menular layaknya influenza. Tapi aku tak menolak. Kurasa aku memang butuh selimut hangat sebelum paru-paruku benar-benar melompat keluar. Aku pulang dengan sebelah sandal dan kekalahan.
Di rumah aku langsung naik ke ranjang, mendempel istriku, berusaha mencuri kehangatan.
***
"Pak, bangun." Rasanya baru sedetik terlelap, istriku sudah menggoyang badanku.