Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Ini, Esok, Lusa, Aku Menyayangimu

3 Juli 2020   06:00 Diperbarui: 3 Juli 2020   06:03 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Ayah membangunkanku dengan segelas susu coklat dan senyum khasnya. Aku bangkit duduk dan memegang tangan Ayah yang terasa hangat.

"Ayah ... Ayah 'kan lagi sakit," protesku di tengah kantuk yang tersisa.

Ayah menatapku lembut. "Ayah nggak sakit. Cuma buatin sarapan untuk Prissy yang cantik, apa susahnya?"

Seketika itu juga, aku tersadar. Ayah tak hanya membawakan susu coklat. Piring keramik berisi wafel tergenggam di tangan kirinya.

"Kamu makan yang banyak ya, Sayang. Biar cepat besar," kata Ayah seraya menyuapiku. Membuat air mataku berjatuhan tanpa suara.

Di setiap doaku

Di setiap air mataku

Selalu ada kamu

Di setiap kataku

Kusampaikan cinta ini

Cinta kita

"Kenapa menangis, Sayangku?" Ayah mengusap lembut bulir bening di pipiku.

Tuhan, tak sanggup aku menjawabnya. Kubiarkan saja Ayah menyuapiku dan menyisir rambutku. Sisir di tangan Ayah terlempar saat ia terbatuk. Sebelum aku sempat berbuat lebih jauh, dengan mata kepalaku kulihat Ayah muntah darah hebat dan tersungkur ke lantai marmer.

'Ku tak akan mundur

'Ku tak akan goyah

Meyakinkan kamu

Mencintaiku

Aku patah hati, sungguh patah hati. Tiga minggu berlalu. Kondisi Ayah belum membaik. Selama 21 hari, aku dan Ayah terpenjara di kamar putih berfasilitas mewah: rumah sakit.

Kupandangi lekuk sempurna wajah Ayah. Betapa tampannya Ayahku di usia yang tak lagi muda. Kerut ketuaan belum mampir di paras orientalnya. Rambut ikal Ayahku masih sehitam dua puluh lima tahun lalu. Sepasang iris coklatnya terkatup. Sebagian besar waktu Ayah dihabiskan dalam tidur.

Tiada kusangka, kedua mata sipit Ayah membuka. Kugenggam tangannya erat. Kucium dahinya penuh kasih seperti yang sering dilakukannya padaku setiap malam.

"Kita sudah sampai mana, Sayang?" Ayah berbisik lemah.

Aku mengernyit bingung.

"Bukannya sekarang kita di pesawat? Ayah 'kan mau ajak kamu liburan ke Singapore."

Hatiku runtuh. Susah payah kutahan likuid bening yang siap membanjir dari kedua bola mataku. Bukannya aku tak menduga ini akan terjadi. Telah kusiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Dulu, Ayah pernah berkata padaku akan indikasi ini: mungkin tubuhnya akan melemah digerogoti usia. Namun, ternyata kondisi pria yang kucintai separah ini. Kunyanyikan lagu kenangan kami. Samar kudengar Ayah ikut bernyanyi.

Tuhan, kucinta dia

Kuingin bersamanya

Kuingin habiskan nafas ini

Berdua dengannya

Jangan rubah takdirku

Satukanlah hatiku dengan hatinya

Bersama sampai akhir (Andmesh Kamaleng-Jangan Rubah Takdirku).

"Prissy sayang Ayah Calvin," ujarku tulus.

Sengaja kuganti kata 'cinta' dengan 'sayang'. Kata Ayah, sayang lebih luas dari cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun