Ayah membangunkanku dengan segelas susu coklat dan senyum khasnya. Aku bangkit duduk dan memegang tangan Ayah yang terasa hangat.
"Ayah ... Ayah 'kan lagi sakit," protesku di tengah kantuk yang tersisa.
Ayah menatapku lembut. "Ayah nggak sakit. Cuma buatin sarapan untuk Prissy yang cantik, apa susahnya?"
Seketika itu juga, aku tersadar. Ayah tak hanya membawakan susu coklat. Piring keramik berisi wafel tergenggam di tangan kirinya.
"Kamu makan yang banyak ya, Sayang. Biar cepat besar," kata Ayah seraya menyuapiku. Membuat air mataku berjatuhan tanpa suara.
Di setiap doaku
Di setiap air mataku
Selalu ada kamu
Di setiap kataku
Kusampaikan cinta ini
Cinta kita
"Kenapa menangis, Sayangku?" Ayah mengusap lembut bulir bening di pipiku.
Tuhan, tak sanggup aku menjawabnya. Kubiarkan saja Ayah menyuapiku dan menyisir rambutku. Sisir di tangan Ayah terlempar saat ia terbatuk. Sebelum aku sempat berbuat lebih jauh, dengan mata kepalaku kulihat Ayah muntah darah hebat dan tersungkur ke lantai marmer.
'Ku tak akan mundur
'Ku tak akan goyah
Meyakinkan kamu
Mencintaiku
Aku patah hati, sungguh patah hati. Tiga minggu berlalu. Kondisi Ayah belum membaik. Selama 21 hari, aku dan Ayah terpenjara di kamar putih berfasilitas mewah: rumah sakit.
Kupandangi lekuk sempurna wajah Ayah. Betapa tampannya Ayahku di usia yang tak lagi muda. Kerut ketuaan belum mampir di paras orientalnya. Rambut ikal Ayahku masih sehitam dua puluh lima tahun lalu. Sepasang iris coklatnya terkatup. Sebagian besar waktu Ayah dihabiskan dalam tidur.
Tiada kusangka, kedua mata sipit Ayah membuka. Kugenggam tangannya erat. Kucium dahinya penuh kasih seperti yang sering dilakukannya padaku setiap malam.
"Kita sudah sampai mana, Sayang?" Ayah berbisik lemah.
Aku mengernyit bingung.
"Bukannya sekarang kita di pesawat? Ayah 'kan mau ajak kamu liburan ke Singapore."
Hatiku runtuh. Susah payah kutahan likuid bening yang siap membanjir dari kedua bola mataku. Bukannya aku tak menduga ini akan terjadi. Telah kusiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Dulu, Ayah pernah berkata padaku akan indikasi ini: mungkin tubuhnya akan melemah digerogoti usia. Namun, ternyata kondisi pria yang kucintai separah ini. Kunyanyikan lagu kenangan kami. Samar kudengar Ayah ikut bernyanyi.
Tuhan, kucinta dia
Kuingin bersamanya
Kuingin habiskan nafas ini
Berdua dengannya
Satukanlah hatiku dengan hatinya
Bersama sampai akhir (Andmesh Kamaleng-Jangan Rubah Takdirku).
"Prissy sayang Ayah Calvin," ujarku tulus.
Sengaja kuganti kata 'cinta' dengan 'sayang'. Kata Ayah, sayang lebih luas dari cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H