"Kenapa menangis, Sayangku?" Ayah mengusap lembut bulir bening di pipiku.
Tuhan, tak sanggup aku menjawabnya. Kubiarkan saja Ayah menyuapiku dan menyisir rambutku. Sisir di tangan Ayah terlempar saat ia terbatuk. Sebelum aku sempat berbuat lebih jauh, dengan mata kepalaku kulihat Ayah muntah darah hebat dan tersungkur ke lantai marmer.
'Ku tak akan mundur
'Ku tak akan goyah
Meyakinkan kamu
Mencintaiku
Aku patah hati, sungguh patah hati. Tiga minggu berlalu. Kondisi Ayah belum membaik. Selama 21 hari, aku dan Ayah terpenjara di kamar putih berfasilitas mewah: rumah sakit.
Kupandangi lekuk sempurna wajah Ayah. Betapa tampannya Ayahku di usia yang tak lagi muda. Kerut ketuaan belum mampir di paras orientalnya. Rambut ikal Ayahku masih sehitam dua puluh lima tahun lalu. Sepasang iris coklatnya terkatup. Sebagian besar waktu Ayah dihabiskan dalam tidur.
Tiada kusangka, kedua mata sipit Ayah membuka. Kugenggam tangannya erat. Kucium dahinya penuh kasih seperti yang sering dilakukannya padaku setiap malam.
"Kita sudah sampai mana, Sayang?" Ayah berbisik lemah.
Aku mengernyit bingung.