"Ayah, Ayah, are you ok?" pekikku panik.
Ayah terbatuk. Dari hidungnya, mengalir darah segar. Ketakutan mengaliri urat darahku.
"Kita ke rumah sakit ya, Ayah. Ayo ..."
Akan tetapi, siapalah aku ini? Mana sanggup aku mengangkat tubuh setinggi 175 senti? Terdorong impuls di otakku, aku berlari ke lantai bawah. Kuketuk pintu kamar Pak Wahyono, supir keluarga yang dulunya karyawan Ayah di yayasan. Syukurlah Pak Wahyono masih bangun. Berdua kami naik ke atas.
"Masya Allah, Pak Calvin!" serunya tertahan melihat Ayahku.
Dapat kulihat Ayah mengambil tissue dan terbatuk ke dalamnya. Helaian putih itu memerah seketika.
"Jangan ...bawa saya ke rumah sakit." Ayah terbata.
"Tolong antar saya kembali ke kamar."
Kami tak kuasa menentang. Pelan dan hati-hati, kami memapah Ayah ke kamarnya di lantai dasar. Sangat susah mengingat kaki Ayah bermasalah saat turun tangga. Aku mengagumi Ayah. Lewat tengah malam begini, Ayah masih bisa menemuiku di lantai dua sambil membawakan coklat hangat dengan keadaan kaki yang agak khusus.
** Â Â
"Jeany, maaf Ayah merepotkanmu, Sayang."