Nah, dengarlah itu. Saking sunyinya, detak jam dinding kuno di ruang kerja Ayah terdengar lima kali lipat lebih keras. Namun ... benarkah itu suara jam dinding?
Nampaknya, otakku mulai rusak. Halusinasi terlanjur menyerbu pikiranku. Masa, bunyi jam dinding sekeras itu? Aku tajamkan indra pendengaran.
Bukan, itu bukan suara detakan jam dinding. Suara itu berasal dari luar ruangan. Hantu? Kalau memang makhluk halus, mengapa bulu kudukku tak meremang? Aku punya bakat khusus melihat makhluk halus yang kuwarisi dari Ibun. Terus, itu suara apa ya?
"Halo," sapaku keras-keras, memecah keheningan malam.
Bunyi itu kian dekat. Satu kata lain menembus lobus-lobus otakku: perampok. Hanya perampok amatir yang meninggalkan suara.
Angin dingin berkesiur tajam. Jendela besar berkaca riben tak cukup kuat menahannya. Aku bersedekap, kedinginan bercampur takut.
Kriett
Hatiku mencelos. Pintu dibuka dari luar. Mataku memejam. Sesaat aku terlalu takut untuk membukanya.
"Sayangku ..."
Suara itu ...oh, tidak. Suara bass itu milik Ayahku. Cepat-cepat kubuka iris kebiruan mataku. Aku melompat bangun menyongsong pria tinggi tegap yang berjalan masuk sambil membawa segelas coklat hangat.
"Ayah? Nggak usah repot-repot, Ayah. Harusnya Ayah istirahat aja," protesku merasa tak enak hati.