"Kamu guru yang baik, Jeany." Tiba-tiba Ayah berkata, membuka halaman terakhir laporan.
Aku mendongak. Tatapan bingungku bertabrakan dengan tatapan teduhnya.
"Belum, Ayah. Aku masih belajar. Coba Ayah lihat di baris terbawah," tunjukku ke arah deretan nilai progres tes para siswa.
Ayah menurunkan pandang. Ia tercenung menatapi angka 380 di baris terbawah.
"Masih ada satu murid yang tertinggal. Nilai progres tes segitu belum bisa disebut bagus buat calon mahasiswa S2. Aku bukan guru yang baik, Ayah."
Kehangatan merengkuh jemariku. Ayah menggenggam tanganku erat, tersenyum lembut.
"Semuanya berproses, Sayangku. Ayah yakin, Silvi punya keistimewaan yang tidak dimiliki teman-temannya."
Kuanggukkan kepala pertanda setuju. Muridku yang satu itu memang istimewa. Perjuangannya lebih besar dibanding seluruh teman sekelas. Setiap tetes perjuangannya akan kuhargai dengan perhatian tulus.
Kedua lengan Ayah membuka. Aku pun menyusupkan diriku ke pelukannya. Wangi Blue Seduction Antonio Banderas merasuk ke hidungku. Wangi Ayah yang sangat, sangat kurindukan.
"Suatu saat kamu bisa menggantikan Andreas ...argh."
Kata-kata Ayah terpotong erang kesakitan. Refleks kulepas pelukan kami. Senyuman Ayah terurai, tergantikan raut wajah kesakitan. Ayah membungkukkan tubuh seolah akan muntah.