Hati Jose berdesir hangat. Gadis ini baik sekali. Ia tak segan memulai chat duluan, bukan karena gresif tetapi semata karena perhatian tulus. Tak salah bila Jose jatuh hati padanya. Cepat diketikkannya balasan. Menjelaskan posisinya sekarang. Kurang dari semenit, Liza membalas lagi dengan emoji senyum dan hati berwarna merah.
Anak Ayah Calvin benar-benar sudah besar. Ia bahkan telah mengenal cinta. Dan Liza Monalisa adalah cinta pertamanya.
** Â Â
Kain-kain tenun berpewarna alam terpajang cantik. Ruang pameran disesaki pengunjung. Area luar Collabox dipenuhi barisan kursi bertutup beludru putih. Jose tiba tepat ketika peragaan busana berlangsung. Dua belas peragawati cantik melenggak-lenggok anggun di atas catwalk. Nampak duo sibling Manda dan Laras bergerak lincah tapi memikat dengan mengenakan kain tenun berwarna indigo. Disusul gadis bermata biru yang entah siapa namanya memutar anggun dalam balutan gaun putih serta scarf batik ecoprint. Beberapa wanita baya yang masih cantik tampil bergiliran mengenakan gaun dari kain tenun Badui, atasan dari kain tenun Lombok Pringasela Selatan, luaran yang terbuat dari kain sibori, dan pakaian bermotif sekar kawung. Cantik, mereka semua cantik dan anggun.
Namun, tak ada yang lebih menarik perhatian Jose kecuali gadis dengan kamera di tangan. Lincah geraknya, putih mulus tangannya yang menekan tombol shutter, dan menawan senyumnya ketika berhasil mengabadikan momen dengan sempurna. Alih-alih modelnya, Jose justru lebih tertarik pada fotografernya. Tak keruan debaran yang menggempur jantung ini. Makin mantap hatinya mempersunting Liza. Seorang fotografer bersanding dengan traveler, bukankah serasi? Bandara memang selayaknya bersatu dengan kamera. Jose keasyikan memperhatikan Liza sampai-sampai tak menyadari sepasang mata tajam di balik masker berwarna hitam terus mengawasi. Naluri kewaspadaannya mendadak mati.
Usai fashion show, tibalah saatnya gelar wicara. Dua orang pembicara naik ke podium. Mereka adalah dosen Fakultas Pertanian dan seorang pendamping wanita-wanita penenun di belahan lain Indonesia. Gelar wicara ini memberi ilmu baru. Ilmu tentang promosi kain tenun pewarna alam, cara memanfaatkan bahan dari alam sebagai pewarna, dan ilmu kesabaran mendampingi para wanita penenun.
"Kita perlu mendengarkan tanggapan dari sudut pandang lain. Untuk itu, saya panggilkan Jose Gabriel Calvin, pengusaha muda, penulis buku, dan aktivis toleransi."
Suara bening perempuan menyebut namanya. Jose terperangah, tak siap dengan undangan mendadak ini. Ia melangkah ke panggung diiringi tepuk tangan audience.
"Dulu dia anak jet set. Sekarang, dialah pengganti ayahnya. Tentu kalian semua kenal siapa ayahnya, kan?" lanjut si gadis moderator, tersenyum menggoda.
Jose sedikit jengah karena latar belakangnya disebut-sebut. Dia lebih suka dikenal tanpa dibayangi Ayah Calvin. Tetiba Liza berdiri di sampingnya, menggenggam lembut tangan Jose. Perasaan tak enak di hati pria itu luruh.
Diskusi berjalan lancar. Liza tak henti tersenyum manis dan menatapnya bangga. Tenang hati Jose selama di samping Liza. Kotak kecil merah di saku jasnya menuntut segera dikeluarkan.