White Mansion
“Revan, kamu jangan bercanda. Aku nggak mau lagi terima kerjaan yang melibatkan penampilan.” Ayah Calvin setengah tertawa. Menatap wajah bule sahabatnya dari layar handphone.
“Ayolah, Calvin. Aku punya dua program variety show di televisiku untukmu. Di sini aku butuh kamu,” bujuk Revan plus puppy eyes dari video call.
Ayah Calvin menghempas nafas. Jangankan dua, satu program saja ia tak mau. Memandu program variety show Senin-Jumat pukul enam sore menyita waktu. Ok fine, waktu take hanya satu jam. Tetapi, persiapan dengan tim, breiffing, mencari narasumber, dan bekerjasama dengan tim kreatif soal konten, bukankah butuh waktu? Tawaran Revan berseberangan dengan prioritas Ayah Calvin. Saat ini dia ingin fokus dengan Silvi dan Bunda Manda.
“Tolonglah sahabatmu yang paling tampan ini.” Di saat begini, Revan masih saja narsis.
“Kalau kamu mengambil tawaran itu, ada perusahaan besar yang akan mensponsori acaramu. Juga memberi suntikan untuk televisiku. Top, kan?”
Revan benar-benar egois. Dia mengutamakan profit. Tujuan utamanya menggaet Ayah Calvin karena alasan komersial. Pria berambut ikal itu menggeleng tegas.
“Kenapa sih kamu ngotot pakai aku jadi host? TV lain mana mau incar mantan artisan setengah baya kayak aku?” selidik Ayah Calvin.
Ups, bagaimana menjelaskannya? Susah bersahabat dengan orang kritis dan detail. Ayah Calvin pasti akan menggali sampai akarnya.
“Ehm...ada request khusus dari sebuah brand. Mereka menginginkanmu sebagai host. Mereka hanya akan memberi sponsor full kalau kamu mau.”
“Brand apa?”