Segalanya telah berubah. Kepercayaan Bunda Manda pada pria yang terpaut 15 tahun dengannya telah pupus. Seorang pria yang menyia-nyiakan istri dan putrinya selama tujuh tahun, alamat kiamat cinta bagi pria itu.
Membuka butik dan biro psikologi? Dia pikir, berbisnis dua hal itu tidak murah? Mau bayar sewa gedung dan karyawan dari mana? Usaha katering, itulah yang mampu dilakukan Bunda Manda. Katering pulalah yang membuat hidupnya dan Silvi tersambung kembali walau tak stabil.
"Who do you think who you are, Calvin Wan?" desis Bunda Manda marah.
"Seenaknya saja menyuruh-nyuruhku berhenti bisnis katering. Sombong sekali dirimu. Kaupikir kekayaanmu bisa membeli lagi cintaku? Berkaca dulu sebelum bicara. Kemana saja kau selama tujuh tahun?"
Tetes-tetes air mata berjatuhan dari mata Ayah Calvin. Cengeng, pikir Bunda Manda geli. Digertak begitu saja menangis.
"Manda, aku tak tahan lagi."
Gumaman itu terdengar lirih, lirih sekali. Air mata belum berhenti menjatuhi mata sipitnya. Apa-apaan suaminya ini?
"Aku tak tahan lagi. Mataku perih sekali. Bawang putih jelek. Dia memedihkan mataku."
Hampir saja Bunda Manda terjungkal dari kursi yang didudukinya. Malu, malu, malu! Dia pikir Ayah Calvin menangis gegara penolakan pedasnya. Ternyata karena...
"Gantian, Manda. Biar aku yang memanggang daging."
Mereka bertukar tempat. Dengan wajah merona, Bunda Manda melanjutkan sisa pekerjaan Ayah Calvin. Merutuki hatinya yang sok tahu menduga-duga.