"Ah, Nanda..." desah Barki. Menatapi gerak-gerik adiknya.
"Adikmu baik sekali." Bunda Manda melontar pujian, tulus.
Prosesi pemakaman dimulai. Para pelayat mengikuti dengan khidmat. Walau berbeda latar belakang etnis dan agama, semuanya satu tujuan: mengantarkan Opa Hilarius ke peristirahatan terakhir.Â
Pria-wanita, mereka yang berkulit gelap dan terang, bermata besar dan bermata sipit, berdiri berjajar memberi penghormatan. Melepas kepergian pria yang dihormati karena karier dan kharismanya.
Air mata Bunda Manda sudah mengering. Habis, kristal beningnya habis ia tumpahkan di rumah duka. Telah terpatri janji di hati Bunda Manda untuk tidak menangis lagi. Tangisan hanya akan memperberat perjalanan Opa Hilarius bertemu Oma Hillary.
Ah, Hilarius dan Hillary. Nama mereka hampir sama. Mereka pun saling mencintai hingga maut memisahkan. Hilarius dan Hillary menikah menembus tembok perbedaan. Dari pernikahan itu, lahirlah generasi penerus yang rupawan.
Selama upacara kematian berlangsung, tangan Bunda Manda tak henti meremas rosario. Benda mirip kalung manik-manik itu benda terakhir peninggalan Opa Hilarius.Â
Ia akan menyimpannya, walau takkan pernah menggunakannya untuk berdoa. Sejak berumur sepuluh tahun, Bunda Manda bulat memutuskan memeluk keyakinan ibunya.
Masih tersisa sebercak darah menempel di lapisan manik-manik itu. Opa Hilarius terus menggenggam rosario sepanjang detik terakhirnya. Termasuk ketika Pastor memberinya sakramen perminyakan.
"Be strong, Manda." Barki berbisik menguatkan.
Bibir tipis itu tergigit kuat-kuat. Menandakan pemiliknya susah payah menahan sedih. Biji-biji kesedihan berjatuhan tiada henti. Mengiringi tertutupnya jasad Opa Hilarius dengan bongkahan tanah dan marmer cantik.