"Sip. Trus Silvi kepingin punya Ayah..."
Kata-kata Opa Hilarius menggantung. Ia tak kuasa melanjutkan. Bayang kesedihan melintas. Sedih yang sama, setiap kali Silvi bertanya tentang Ayah.
Ayah. Entitas yang rasanya sejauh Jakarta-Roma bagi Silvi. Tujuh tahun ia melihat dunia, tak pernah sekali pun netranya memandang Ayah.
Ayah, kemanakah sosok itu?
Dada Opa Hilarius sesak. Sesak diberati kenangan. Kenangan akan menantunya yang menghilang tujuh tahun silam. Entah apa kosa kata yang tepat untuk menggambarkan kepergian menantu Opa Hilarius: menghilang, terusir, menjauh, atau pergi dengan sendirinya.
"Silvi akan ketemu Ayah kalau Opa sudah pergi."
Sontak Silvi memutar bola mata. Apa maksud Opa Hilarius? Kenapa dia baru bisa bertemu Ayah saat Opa Hilarius sudah pergi? Tapi, bukankah...
"Opa, Ayah kan udah meninggal." Ceplos Silvi. Benaknya merekam kembali keterangan Bunda Manda.
Tarikan napas berat Opa Hilarius kian mengaduk-aduk benak Silvi. Rasa penasarannya membuncah. Sayangnya, tak sepotong penjelasan pun meluncur dari bibir pria tua yang tetap gagah itu. Dielusnya rambut Silvi lembut. Seolah tak ada pembicaraan tentang Ayah sebelumnya, Opa Hilarius mengingatkan Silvi untuk makan siang.
Makan siang? Tangan mungil Silvi meraba perut ratanya. Gara-gara menulis diary dan memikirkan Ayah, ia jadi lupa. Sekarang, lapar kembali terasa. Sepasang kaki jenjang Silvi membawanya berlari ke dapur.
Bunda Manda telah menanti. Spatula di tangan kanan, cempal di tangan kiri. Celemek bermotif bunga belum dilepas. Sisi wajah cantiknya dibasuh keringat. Namun, senyumnya rekah melihat putri tunggalnya.