Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Putri Disleksia dan Malaikat Pengajar Bahasa

24 Maret 2020   06:00 Diperbarui: 24 Maret 2020   05:58 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mathematics: 31

English: 66

Physics: 18

Indonesia Languages: 55


Kedua iris biru pucat milik Silvi menatap murung nilai-nilainya. Lembaran kertas itu ia remas, lalu berakhir di laci meja. Silvi menunduk dalam-dalam, menyembunyikan linangan air mata.

Seburuk itu nilainya dalam satu minggu. Padahal ia telah belajar keras sampai dini hari untuk mengerjakan semua tugas dan ulangan harian. Perlukah Silvi berusaha sepuluh kali lebih keras untuk mengejar nilai standar minimal?

Tangan Silvi terangkat. Menutup separuh wajah agar tak ada yang melihat buliran bening menggenang. Kalau sampai Silvi, The Smiling Princess ketahuan menangis, bisa gawat. Ketika hampir seisi kelas tertawa, hanya Silvi yang menangis.

**   

Huruf-huruf itu terlihat acak. Sebagian kata terbalik. Silvi memijit pelipisnya, tak satu pun huruf dan angka yang masuk ke otak. Susah payah dia mencerna instruksi Miss Jeany.

Bel istirahat seperti angin surga. Para siswa sekolah internasional itu menghela nafas lega. Menyingkirkan buku Biologi. Sejenak melupakan materi tentang eukariotik dan prokariotik. Silvi? Memahami materi saja tidak bisa. Apa yang perlu ia lupakan?

"Silvi, aku mau cerita."

Sesosok gadis berkulit gelap, berambut pendek, dan berkacamata mengenyakkan diri di bangku kosong tepat di samping Silvi. Gadis cantik berambut panjang itu tak punya teman sebangku. Kursi di sebelahnya hanya akan terisi bila ada temannya yang curhat.

"Cerita aja. Aku dengerin," balas Silvi, tersenyum manis.

Sabila mulai nyerocos. Menceritakan kedekatannya dengan pencari suaka asal Afghanistan. Silvi mendengarkan dengan anggun, tak sedikit pun menyela. Ekspresi wajahnya dibuat setertarik mungkin dengan kisah Sabila.

"...Dan begitu proyek film dokumenternya selesai, aku akan mengajaknya short trip ke Malang. Niatnya sih, kami mau mengunjungi kota dimana tak ada orang-orang yang kenal kami. Wah, pasti menyenangkan sekali liburanku nanti. Aku bisa traveling sama Ali."

"Wow, Sabila. Aku ikut senang. Pasti kamu dan Ali menikmatinya. Enaknya jadi kamu, Sabila. Cantik, pintar, dan dekat dengan pria tampan. Mungkin dia jodohmu." Desah Silvi.

"Iya dong. Sudah lama aku menunggu momen ini. Dia, kan, awalnya nggak berani menembus aturan imigrasi yang ketat itu. Tahulah gerak-gerik pencari suaka dibatasi. Kalau saja Indonesia mau menandatangani konvensi..."

Celotehan Sabila tentang konvensi internasional negara ketiga hanya berputar-putar di kepala Silvi. Sikap manis menuntutnya untuk mengangguk dan berpura-pura tertarik. Begitu Sabila beres dengan curhatannya, ia pamit.

"Silvi, makasih ya udah dengerin aku. Kamu udah aku anggap kayak adik." Kata Sabila manis.

Selepas kepergian Sabila, Silvi berlari meninggalkan kelas. Tak sengaja dia menabrak seorang pria tinggi bermata sipit yang berdiri menantinya di mulut pintu. Silvi berlari ke rooftop sekolah. Tempat paling sepi sekaligus tempat favoritnya.

Dibantingnya pintu rooftop. Bermanja sejenak dengan kesunyian yang ditawarkan. Blazer berlogo sekolah internasional ia buka. Sambil merentangkan lengan, Silvi berteriak keras-keras.

"Memangnya aku senang terus-menerus dicekoki cerita tentang pencari suakaaaa? Cantik? Aku jauh lebih menawan darimu, Sabila!"

Tangan mulus Silvi menampari pipinya sendiri. Terbayang wajah pas-pasan Sabila dan kebiasaannya bercerita panjang lebar tentang pencari suaka dan pamer wawasannya yang luas. Sabila hanya satu dari puluhan siswa yang menjejali Silvi dengan cerita-cerita membosankan. Namun, kalau bukan jadi pendengar yang baik, mana mungkin Silvi berteman dengan banyak orang?

"Berteriaklah sekeras yang kaumau."

Sebuah suara bass menegurnya lembut. Silvi berbalik dan menjerit kaget. Persis di depannya, pria berjas hitam berdiri tegak. 175 senti tingginya, oriental parasnya, sipit kedua matanya, dan tampan sosoknya.

"Mr...Calvin?" Silvi terbata, mencengkeram erat besi yang memagari rooftop.

"Aku tahu kamu lelah menjadi tempat curhatan orang lain. Sama seperti mereka, kamu pun ingin didengarkan dan dimengerti. Saat ini kamu bersedih hati karena nilai-nilamu di bawah standar."

"Sok tahu..." desis Silvi, kini bertopang dagu.

Calvin tersenyum. Menepuk lembut puncak kepala Silvi. Sensasi aneh menjalari hati gadis penyandang disleksia dan diskalkulia itu. Di dekat Calvin, Silvi merasa tenang. Terlebih guru Indonesian Language yang baru tiga bulan mengajar itu memahami masalahnya.

Orang-orang hanya mengenal Silvi sebagai pianis dan anggota tim choir. Gadis cantik bermata biru yang memiliki sikap manis. Tipikal good listeners. Bisa membaur dengan siapa saja, mulai dari geng anak genius, korban bullying, hingga para pembully. Mereka tak tahu kalau Silvi mengalami dua gangguan belajar sekaligus.

Secara akademis, nilai mata pelajaran Silvi tergolong rendah. Dia takkan bisa mencicipi bangku sekolah elite ini kalau bukan karena portofolionya yang mengesankan secara non-akademis. Hanya ada dua tipe murid yang bisa bersekolah di sini: anak pintar atau anak berprestasi.

"Kenapa kamu tidak pernah makan di cafetaria seperti teman-temanmu?" tanya Calvin mengalihkan pembicaraan.

Silvi mengerjap. Heran mengapa Calvin sedetail itu memperhatikannya.

"Tak ada yang mengajakku. Aku juga punya trauma. Pernah aku memesan makanan di cafetaria. Aku malah memecahkan piring. Sejak saat itu, aku tak mau makan di sana lagi." Ungkap Silvi sedih.

Calvin membelai sayang rambut Silvi. Janji terpatri dalam hati. Takkan dia biarkan muridnya ini memikul masalahnya sendirian.

"Mulai hari Selasa, aku akan membuatkanmu bekal makan siang."

Kepala Silvi tertoleh ke samping. Sekarang Senin, dan besok adalah Selasa. Sengaja Calvin menyebut nama hari alih-alih menggantinya dengan kata besok. Sebagai penderita diskalkulia, Silvi tak begitu memahami orientasi waktu seperti kemarin, besok, dan semacamnya.

"T-tidak usah..."

"Aku akan membuatkanmu bekal makan siang dan sebagai balasannya, kamu mau belajar privat denganku. Deal?"

Belajar privat dengan Calvin? Tak mungkin Silvi menolak. Tiga bulan membersamainya di kelas, Silvi menyukai metode pengajaran Calvin yang serius tapi santai dan penuh kejutan. Calvin guru idola sejuta umat di sekolah ini. Dia longgar memberi dispensasi pada anak-anak yang punya kegiatan ekstrakurikuler. Tiap kali muridnya mendapat nilai tertinggi dan bisa menjawab pertanyaan, si murid pasti pulang membawa coklat atau buku baru. Pernah Calvin mentraktir seisi kelas dengan makanan yang dijual anak OSIS untuk dana usaha.

**    

Near, far, wherever you are

I believe that the heart does go on

Once more you open the door

And you're here in my heart

And my heart will go on and on

Musik mengalun lembut di rooftop. Sedihnya lagu yang terputar senada dengan langit kelabu di atas sana. Metode belajar sambil memutar musik adalah strategi Calvin agar Silvi lebih mudah mencerna materi bahasa dan angka. Calvin tahu betul cara menangani anak berkebutuhan khusus.

"Kenapa?" lirih Calvin, kedua tangannya membekap dada seperti orang kedinginan.

"Kenapa lagu ini?"

Wajah Calvin memucat. Dia terbatuk. Entah kenapa, siang ini ada lebih banyak phlegm di tenggorokannya. Untunglah dia hanya terbatuk di depan Silvi. Bukan hanya karena dahak, refleks tubuh ini pun datang dari trauma masa lalu. Soundtrack film kapal tenggelam itu mengingatkan Calvin pada mendiang ibunya.

"Mencerminkan isi hatiku," jawab Silvi polos. Manik matanya berbenturan dengan mata Calvin.

Menguatkan diri, Calvin pun memulai sesi mereka. Calvin mengajarkan Matematika pada Silvi dengan number bingo dan flashcard. Dia pun membedakan tanda plus dengan warna merah dan minus dengan warna hijau.

Hanya Matematika? Tentu tidak. Untuk Bahasa Indonesia, Calvin mengajari Silvi dengan teknik menulis cerita. Dimintanya gadis itu menulis cerita satu halaman per hari. Tujuannya agar Silvi terbiasa mengenali huruf dan kata.

You're here, there's nothing I fear

And I know that my heart will go on

Sesi pun usai. Calvin menyodorkan kotak bento berwarna biru pada Silvi. Silvi membuka tutupnya. Harum Pene Aglio Olio menyeruak.

"Mr. Calvin, ini Anda sendiri yang membuatnya?" tanya Silvi kikuk.

"Ya. Aku suka memasak."

Senyum terpulas di wajah Calvin melihat Silvi begitu lahap menikmati bentonya. Puas karena itu berarti masakannya enak. Bekal buatan Calvin selalu lezat.

Baru saja mereka menandaskan suapan terakhir, petir menyambar. Tubuh Silvi gemetar. Sontak dia merapat ke tembok, kedua tangannya menutup telinga. Mendadak Silvi merasakan wangi Blue Seduction Antonio Banderas. Siapa lagi guru di sekolah ini yang memakai parfum itu selain Calvin Wan?

"It's ok. I'm here..."

Ketakutan Silvi perlahan berkurang. Tidak apa-apa. Ini hanya petir. Semua akan baik-baik saja, dan Calvin di sampingnya.

We'll stay forever this way

You are safe in my heart and

My heart will go on and on (Celine Dion-My Heart Will Go On).

"Mengapa Mr. Calvin sudi berhenti mengurus perusahaan dan mengajar di sekolah ini?" tanya Silvi pelan.

"Panggilan jiwa, Silvi. Ini sekolah milik temanku. Dia meminta bantuanku. Sejak wabah virus Corona, sentimen rasis pada anak-anak Tionghoa menjalar. Mereka tertuduh sebagai pembawa virus. Aku ingin membuktikan bahwa Tionghoa tidak seburuk itu. So, hanya di sekolah ini pelajaran Bahasa Indonesia diajarkan oleh orang China."

Suara lembut Calvin menyentuh relung hati Silvi. Batinnya menghangat. Pria di pelukannya ini luar biasa. Kelak walaupun Silvi telah lulus dari sekolah ini, Calvin akan selalu tersimpan di hatinya. Calvin tersimpan di hati Silvi, selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun