Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah Special Part] Hari Ulang Tahun Raissa

15 Desember 2019   06:00 Diperbarui: 15 Desember 2019   06:07 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Ulang Tahun Raissa


-Fragmen Silvi

Sejak dulu aku penasaran dengan cincin yang terpasang di jari manis Ayah. Bukan, kalian salah sangka kalau mengira itu cincin pernikahan. Ayah tidak pernah menikah. Cincin Ayah terbuat dari emas dan bertatahkan batu di atasnya. Batu-batu di cincin itu menarik perhatianku. Batu-batu itu seperti menarikku, seperti ada magnet di dalamnya. Mungkinkah Ayah Calvin paranormal? Mendadak aku menduga kalau Ayahku sebenarnya paranormal di balik profesinya sebagai penulis dan komisaris utama perusahaan. Mungkin saja Ayah bisa melihat makhluk halus dan menyembuhkan berbagai penyakit. Tapi, kalau Ayah punya kemampuan itu, mengapa Ayah tetap perlu meminum obat tiap hari untuk menjaga darahnya?

Memikirkan tentang cincin Ayah membuatku menggerak-gerakkan tanganku. Refleks aku menusukkan kuku ke punggung tangan kananku. Crash...darah muncrat dari luka setengah sembuh yang kembali robek. Benang fibrin menyembul keluar. Kutarik sekuat-kuatnya. Lebih banyak darah mengalir keluar. Lukaku terbuka lagi.

"Sayangku, apa yang kamu lakukan?"

Suara bass bernada sedih campur marah itu memecah keasyikanku. Selang sedetik, kurasakan tanganku ditarik. Ayah menggenggam tanganku erat. Hatiku mencelos. Dari mana Ayah tahu aku sedang melukai diri? Bukankah tadi Ayah tengah sibuk menyelesaikan draf tulisannya? Mata biruku melayang ke jari manis Ayah. Mungkinkah karena cincin itu?

"Ayah, lepaskan tanganku." Kataku tak senang.

"Nope. Anak Ayah yang cantik dilarang melukai diri." Balas Ayah tegas.

Kami duduk di sofa dalam diam. Rintik hujan bersenandung lembut di luar sana. Lagi-lagi kulirik cincin yang dikenakan Ayah. Benda itu sungguh membuatku penasaran. Aku merasakan tarikan energi yang kuat darinya.

"Ayah, aku mau cincin." Pintaku manja.

Betapa herannya aku karena Ayah tidak meluluskan permintaanku. Ayah melarangku memakai cincin dan perhiasan lainnya. Ternyata hal ini telah ia sepakati dengan Papa.

"Kenapa?" Aku setengah memprotes, sebal.

"Bisa hilang, Sayang. Banyak orang yang akan memanfaatkanmu hanya untuk mengambil perhiasanmu."

Aku merengut. Ayah saja memakai cincin, kenapa aku tidak boleh? Saat kuutarakan argumenku, Ayah tersenyum sambil menyentuh cincinnya.

"Ini bukan cincin biasa, Silvi. Batu pada cincin ini memiliki energi."

Nah kan, benar dugaanku. Ayah bukan orang biasa. Ada kelebihan dalam dirinya. Mungkin mata hatinya sangat tajam.

"Kalau gitu, aku mau pakai salah satu cincin Ayah. Ayah, kan, punya puluhan cincin."

Lagi-lagi Ayah menolak. Ayah tak membolehkanku memakai satu pun cincin miliknya. Suara rajukanku tenggelam oleh dering iPhone. Oh, ternyata handphoneku sendiri.

"Dari Raissa, Sayang." Ayah mengambilkan handphoneku dan membacakan pop up di layarnya.

Kudiamkan saja. Entah, aku terkadang ingin menghapus jejakku dari seluruh teman sekelas. Kelas itu seperti neraka. Tak ingin aku kembali ke sana. 90% penghuninya golongan toksic people, walau tidak semua. Tiga tahun di kelas itu cukup membuat hatiku beku.

"Silvi tidak mau menjawabnya?" tanya Ayah lembut.

"Tidak, Ayah. Nanti aku jadi obat nyamuk. Raissa, kan, lagi dekat dengan Papa." Sahutku ketus.

Sejurus kemudian, Ayah memelukku. Pelukannya begitu hangat dan erat. Kecupan lembutnya mendarat di keningku. Satu tangannya mengelus rambutku.

"Walaupun mungkin kelak Papa bersama perempuan lain, Ayah akan tetap ada untukmu. Kamu belahan jiwa Ayah, Sayang." Janji Ayah penuh kesungguhan.

Aku tak menanggapi. Mataku terpejam damai dipeluk dan dibelai Ayah.

"Even you grow up to be a mature woman, you still my baby girl."

**   

-Fragmen si kembar

Tiap Minggu pagi, Adica menyambangi rumah ini. Sebuah rumah luas berlantai dua dengan enam kucing di dalamnya. Ia ada di sini hingga sore membungkus kota, semata demi perempuan cantik berambut coklat itu.

Manik mata Raissa mengerling Adica. Seperti biasa ia mengagumi pria orientalis itu dalam balutan best suit hitamnya. Adica melenggang angkuh ke rumah itu, melirik Raissa sekilas, dan berhenti di depan perempuan itu tanpa senyum.

Senin-Jumat berkencan dengan saham, kini Adica mengencani kekasih gelapnya. Buat workaholic seperti dirinya, wanita adalah kekasih gelap. Tumpukan pekerjaan adalah kekasih resmi. Mungkin terkesan aneh. Tapi biarlah, biarlah begitu.

Dua cangkir teh Earl Grey dan seloyang tart karamel disajikan. Keduanya makan dalam diam. Pria bermata sipit dan wanita dengan mata serupa hanya sesekali saling pandang. Ragu-ragu Raissa melempar tanya.

"Enak?"

"Biasa aja."

Raissa menggigit bibir. Terbiasa dengan jawaban tak memuaskan dan sikap ignorant lelakinya.

"Kalau tidak enak, kenapa kamu masih datang tiap akhir pekan untuk menikmatinya?"

"Nah, itu kamu tahu sendiri jawabannya. Sudah tidak perlu tanya, kan?"

Benar-benar menyebalkan. Terbuat dari apa hati pria sibuk ini? Makin besar dorongan di hati Raissa untuk menguji ingatan Adica.

"Adica, ini hari apa?" ujar perempuan itu waswas.

"Aku jadi heran," Alih-alih menjawab, Adica malah mengalihkan pembicaraan. Cangkir porselen berdenting kasar di meja kaca.

"Waktu kecil cita-citamu jadi polisi ya? Atau wartawan?"

Apa-apaan pria ini? Dia menanyakan sesuatu yang sangat tidak penting. Alis Raissa terangkat tinggi.

"Heran, dari tadi kamu tanya aku terus. Seperti diinterogasi." Tukas Adica lelah, melayangkan tatapan ke langit berselimut kabut di luar jendela.

Mata Raissa mengerjap sedih. Adica lupa, sepertinya ia melupakan pentingnya hari ini. Dengan lesu, dikumpulkannya gelas kosong lalu dibawanya ke dapur. Sementara Adica santai saja memandangi langit sambil menikmati ketenangan. Sedikit ketenangan di hari libur sudah cukup.

Ketika Raissa kembali, Adica telah berpindah posisi. Ia berdiri menjulang di depan upright piano. Tatapannya terarah lurus ke arah Raissa.

"Raissa, kamu tahu ini hari apa? Ini Hari Minggu," ujar Adica tenang.

Raissa mengangguk mantap. Tak paham dengan apa yang akan dilakukan berikutnya. Kepalanya pusing memikirkan bagaimana bisa Calvin dan Silvi yang identik dengan kelemahlembutan bisa tahan hidup seatap dengan kekasihnya yang ajaib. Ajaib karena tingkah absurdnya.

Nada-nada indah mengalun dari piano. Kedengarannya seperti lagu yang diimprovisasi.

Down to earth

Keep 'em falling when I know it hurts

Going faster than a million miles an hour

Trying to catch my breath some way, somehow

Down to earth

It's like I'm frozen, but the world still turns

Stuck in motion, but the wheels keep spinning 'round

Moving in reverse with no way out

And now I'm one step closer to being

Two steps far from you

And everybody wants you

Everybody wants you

How many nights does it take to count the stars?

That's the time it would take to fix my heart

Oh, baby, I was there for you

All I ever wanted was the truth, yeah, yeah

How many nights have you wished someone would stay?

Lay awake only hoping they're okay

I never counted all of mine

If I tried, I know it would feel like infinity (One Direction-Infinity).

Tak bisa menahan diri, Raissa menepukkan kedua tangan. Adica memainkan lagu kesukaannya. Suara barithonnya menyanyikan untaian lirik dengan merdu. Permainan pianonya tak kalah bagus dari Calvin.

Selesai bermain piano, Adica berjalan santai kembali ke kursinya.

"Yah, aku terlalu sibuk untuk membeli kado." Gumamnya dengan wajah innocent.

"So...selamat Hari Minggu, Raissa."

Seraut wajah cantik itu memerah tak keruan. Adica benar-benar sukses mengerjainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun