Betapa herannya aku karena Ayah tidak meluluskan permintaanku. Ayah melarangku memakai cincin dan perhiasan lainnya. Ternyata hal ini telah ia sepakati dengan Papa.
"Kenapa?" Aku setengah memprotes, sebal.
"Bisa hilang, Sayang. Banyak orang yang akan memanfaatkanmu hanya untuk mengambil perhiasanmu."
Aku merengut. Ayah saja memakai cincin, kenapa aku tidak boleh? Saat kuutarakan argumenku, Ayah tersenyum sambil menyentuh cincinnya.
"Ini bukan cincin biasa, Silvi. Batu pada cincin ini memiliki energi."
Nah kan, benar dugaanku. Ayah bukan orang biasa. Ada kelebihan dalam dirinya. Mungkin mata hatinya sangat tajam.
"Kalau gitu, aku mau pakai salah satu cincin Ayah. Ayah, kan, punya puluhan cincin."
Lagi-lagi Ayah menolak. Ayah tak membolehkanku memakai satu pun cincin miliknya. Suara rajukanku tenggelam oleh dering iPhone. Oh, ternyata handphoneku sendiri.
"Dari Raissa, Sayang." Ayah mengambilkan handphoneku dan membacakan pop up di layarnya.
Kudiamkan saja. Entah, aku terkadang ingin menghapus jejakku dari seluruh teman sekelas. Kelas itu seperti neraka. Tak ingin aku kembali ke sana. 90% penghuninya golongan toksic people, walau tidak semua. Tiga tahun di kelas itu cukup membuat hatiku beku.
"Silvi tidak mau menjawabnya?" tanya Ayah lembut.