Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah Special Part] Anak Tunggalku, Belahan Jiwaku

6 Desember 2019   06:00 Diperbarui: 6 Desember 2019   06:05 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak Tunggalku, Belahan Jiwaku


-Fragmen si Kembar

"Pa, Ayah mana?" rajuk Silvi seraya menarik-narik lengan baju Adica.

Pria yang terlahir dua puluh menit setelah Calvin itu menoleh malas. Menatap Silvi jengah. Bukan, bukan karena anak cantik itu menarik-narik bajunya. Tetapi karena Silvi terus mencari Calvin, padahal di sini ada Papanya.

"Ayahmu belum pulang. Mana Papa tahu dia kemana?" jawab Adica setengah hati.

Silvi mencibir. Dia tak puas dengan jawaban Papanya. Mata birunya berkilat.

"Biasanya, kan, Ayah yang di rumah! Kok ini kebalikannya?"

"Silvi, jangan tanya-tanya terus. Bikin Papa tambah stress."

Bibir gadis kecil itu mengerucut. Kesebalannya meningkat berkali lipat. Alih-alih membuatnya tenang, Adica malah menambah beban perasaan Silvi.

Deru mobil terdengar di halaman. Walau sangat mengenali bunyinya, Adica tak beranjak. Justru Silvi yang berteriak kegirangan. Ia menatap miris punggung Silvi yang berlari menjauh ke teras depan.

Hati Silvi tak seexcited itu saat dirinya pulang dari kantor. Lihatlah, Silvi begitu senang mendengar derap langkah sepatu Calvin. Derap langkahnya sendiri tak cukup menyenangkan Silvi. Putri tunggalnya sudah terlalu dekat dengan kakak kembarnya.

Lihatlah, Silvi menempel erat dipeluk Calvin. Silvi tak ragu dekat-dekat Ayahnya walau kondisi kesehatan sang ayah kurang baik. Hati Adica memberontak, menjerit, menangis. Ia ingin sakit juga agar disayang Silvi.

Tak tahan lagi, Adica menaiki tangga pualam. Pintu kamar dibantingnya tanpa sadar. Pria berjas grey itu melemparkan tubuhnya ke kursi piano. Piano berdenting menyentuh jiwa. Adica bernyanyi dengan suara lembut.

... (Park Hyo Shin-Snow Flower).

Adica meremas rambutnya marah. Kenapa Silvi tak sedekat itu dengannya? Kenapa justru dengan Calvin yang mudah sakit ia begitu sayang?

Untuk pertama kalinya, Adica merasa tersaingi dengan Calvin. Sejak kecil ia menerima kalau dirinya dan Calvin beda nasib dan beda perlakuan pula. Calvin yang disebut sakit-sakitan, tak sekuat adiknya, dan mendapat limpahan cinta dari seluruh keluarga. Calvin yang jarang ikut pelajaran Olahraga semasa sekolah, pernah home schooling karena kesehatannya, lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, dan ditunjuk menjadi komisaris utama karena keterbatasannya, justru piawai sekali mengurus Silvi. Banyak yang meragukan Calvin bisa menjadi ayah yang baik. Nyatanya? Ya lihat sendiri.

"Shame on you, Calvin Wan!" teriak Adica frustrasi.

Ia melompat bangun, lalu menarik laci mejanya. Setumpuk album foto lama dikeluarkan. Foto-foto Calvin dirobeknya jadi dua. Foto-foto bertiga-dirinya, Calvin, dan Silvi-ia gunting di bagian wajah Calvin. Lantai kamarnya dipenuhi robekan foto kakak kembarnya sendiri. Menyesal? Tidak, Adica melakukannya dengan kesadaran penuh.

Kesadaran itu lahir dari rasa cemburu. Kini ia benar-benar cemburu pada Calvin. Kali pertama dalam hidupnya, Calvin merebut apa yang Adica miliki. Biasanya yang terjadi malah sebaliknya.

**   

Keesokan paginya, Calvin demam. Si adik kembar tak tega juga. Demi Calvin, Adica tinggalkan sejenak kursi direktur di kantornya.

Ia mengawasi dengan geram ketika Calvin tetap sok kuat. Kembarannya itu masih bangun pagi-pagi demi Silvi. Memasakkannya bento, membuatkan kue, menyiapkan pakaian, dan mengecek tas sekolahnya. Bagaimana Calvin bisa melakukan semua itu sementara tubuhnya memprotes minta istirahat?

"Minggir, biar aku saja." Paksa Adica, mengambil alih potongan-potongan sosis yang dibentuk menyerupai bintang.

"Memangnya kamu bisa?" tanya Calvin, suara lembutnya diselipi keraguan.

Adica mendengus sebal. "Masa menggoreng sosis aja nggak bisa?"

Keraguan Calvin menjadi kenyataan. Alih-alih bintang cantik berlumur saus tomat, sosis goreng itu berubah menjadi gundukan hitam karena hangus. Wajah tampan Adica memerah tak keruan. Ia malu, malu pada Calvin. Memasak sesuatu yang sederhana saja tak mampu.

Senyum sabar menghiasi wajah pucat Calvin. Diambilnya sosis beku yang baru, lalu dia melakukan langkah-langkah yang sama.

"Kenapa sih Silvi sayang banget sama kamu?" ceplos Adica kesal.

"Mungkin karena aku memperlakukannya seperti belahan jiwaku."

"Aku bisa mencintai Silvi lebih darimu. Ayah penyakitan saja disayangnya sebegitu dalam."

Seolah tak mendengar cacian Adica, Calvin berujar lembut. "Tau nggak apa yang aku lakukan selama aku di rumah? Aku belajar memasak, aku menulis, dan membaca buku-buku parenting. Kutunjukkan cinta pada anak tunggalku lewat masakan. Itu sebabnya anak tunggalku selalu rindu padaku. Dia mengingatku lewat semua makanan yang kumasak. Silvi sangat berharga untukku."

Adica sempurna terdiam mendengarnya. Hatinya teriris. Mata batinnya terbuka. Pantas saja Silvi sayang sekali pada Calvin. Mereka adalah belahan jiwa. Calvin mengikat Silvi lewat masakan.

Setelah memastikan Silvi berangkat sekolah tanpa kurang apa pun, Calvin ambruk kelelahan. Raganya sakit tetapi benaknya bahagia. Serta-merta kemarahan Adica surut. Ia mengompres dahi Calvin. Ia siapkan pula obat-obatan rutin itu.

"Aku malu padamu," kata Adica pelan, pelan sekali.

"Untuk apa? Kita mencintai Silvi dengan cara berbeda. Tapi satu hal yang harus kamu tahu: kasih sayangku pada Silvi sangat dalam, lebih dalam dari siapa pun yang pernah kusayangi sebelumnya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun