Ia mengawasi dengan geram ketika Calvin tetap sok kuat. Kembarannya itu masih bangun pagi-pagi demi Silvi. Memasakkannya bento, membuatkan kue, menyiapkan pakaian, dan mengecek tas sekolahnya. Bagaimana Calvin bisa melakukan semua itu sementara tubuhnya memprotes minta istirahat?
"Minggir, biar aku saja." Paksa Adica, mengambil alih potongan-potongan sosis yang dibentuk menyerupai bintang.
"Memangnya kamu bisa?" tanya Calvin, suara lembutnya diselipi keraguan.
Adica mendengus sebal. "Masa menggoreng sosis aja nggak bisa?"
Keraguan Calvin menjadi kenyataan. Alih-alih bintang cantik berlumur saus tomat, sosis goreng itu berubah menjadi gundukan hitam karena hangus. Wajah tampan Adica memerah tak keruan. Ia malu, malu pada Calvin. Memasak sesuatu yang sederhana saja tak mampu.
Senyum sabar menghiasi wajah pucat Calvin. Diambilnya sosis beku yang baru, lalu dia melakukan langkah-langkah yang sama.
"Kenapa sih Silvi sayang banget sama kamu?" ceplos Adica kesal.
"Mungkin karena aku memperlakukannya seperti belahan jiwaku."
"Aku bisa mencintai Silvi lebih darimu. Ayah penyakitan saja disayangnya sebegitu dalam."
Seolah tak mendengar cacian Adica, Calvin berujar lembut. "Tau nggak apa yang aku lakukan selama aku di rumah? Aku belajar memasak, aku menulis, dan membaca buku-buku parenting. Kutunjukkan cinta pada anak tunggalku lewat masakan. Itu sebabnya anak tunggalku selalu rindu padaku. Dia mengingatku lewat semua makanan yang kumasak. Silvi sangat berharga untukku."
Adica sempurna terdiam mendengarnya. Hatinya teriris. Mata batinnya terbuka. Pantas saja Silvi sayang sekali pada Calvin. Mereka adalah belahan jiwa. Calvin mengikat Silvi lewat masakan.