Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah] Malaikat dan Bidadari di Reunite

25 November 2019   06:00 Diperbarui: 25 November 2019   06:04 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Young Lady, Syifa, Sri Subekti (dok pri)

Malaikat dan Bidadari di Reunite

-Fragmen Silvi

Tanpa hadirnya Ayah di sampingku, mungkin diriku takkan setenang ini. Di pelataran mall, malaikat tampan bermata sipit itu mendekapku erat. Tangan hangatnya mendarat di rambutku.

Mall masih sepi. Kuedarkan pandang ke arah meja-meja pendaftaran, karpet, barisan kursi, booth, dan lalu-lalang pengunjung. Sesekali aku bersitatap dengan Ayah. Ayah tersenyum menawan memperhatikan lekuk sempurna wajahku.

"Ayah, aku cantik ya?" tanyaku.

"Iya. Tanpa perlu perawatan, kamu sudah cantik."

Aku tertawa tertahan. Ayah tidak tahu saja. Kulitku tipis dan sensitif. Lihatlah, urat-urat pembuluh darah terlihat halus di wajahku. Lambat laun tawaku berubah menjadi rengutan.

"Kenapa, Sayang?"

"Tadi sewaktu tidak ada Ayah, ada seorang bapak tidak dikenal yang colek pipiku dan menyebutku 'cakep'." Aku mengadu.

"Ya, putri tunggal Ayah memang cantik. Tapi tidak seharusnya kamu diperlakukan begitu. Maaf ya, Ayah kurang sigap menjagamu."

Kami duduk di depan cafe tempat pelaksanaan workshop. Ayah, dengan gaya observantnya, memandangi kesibukan di penjuru mall. Dia tanpa ragu menjelaskan apa yang dilihatnya padaku. Saat mata Ayah melirik kemana-mana, tanganku  leluasa menggores luka yang setengah sembuh.

"Wleeek...mumpung Ayah nggak liat," kataku pelan sambil menjulurkan lidah.

"Trus kenapa kalau Ayah nggak liat? Hm?"

Di luar dugaan, Ayah menolehkan kepala padaku dan meraih jemariku. Dicengkeramnya tanganku erat. Didekapnya aku hingga aku tak bisa bergerak. Tubuh Ayah tiga kali lebih tinggi dan berat dariku. Mudah baginya menahanku.

"Princess kok melukai diri? Bandel," kecamnya lembut.

Aku kesulitan bergerak dalam dekapan Ayah. Ayah berniat sekali mengurungku dalam rengkuhannya. Tak sengaja lenganku menyenggol jatuh gelas minuman Ayah. Anehnya, Ayah tenang saja memungut minumannya yang jatuh dan menyesapnya lagi. Ayah bahkan tidak marah padaku.

Lama kami duduk menanti. Jam karet lagi-lagi berlaku. Beberapa saat setelah menghabiskan minumannya, Ayah bangkit berdiri meninggalkanku. Wajahnya lebih pucat dari sebelumnya.

Aku termenung memandangi punggung Ayah. Kugigit bibir bawahku. Hatiku biru.

Tetiba seorang wanita berkacamata berbaju kuning menghampiriku. Ia duduk di sampingku, memeluk pundakku, dan menyapaku lembut.

"Tante Asyifa?" desisku tak percaya. Kukira wanita ini menemani Papa.

"Papamu memintaku menjagamu, Sayangku. Dimana Ayah?"

"Pergi sebentar. Entah kemana."

Ketika Ayah kembali, kurasakan kehangatan kembali menyelimuti jiwaku. Kami duduk bertiga. Kursi kecil nan sempit tak lagi terasa menyesakkan sebab dimuati dua orang yang menebarkan energi positif. Ayah di samping kananku, Tante Asyifa di sebelah kiriku. Terbersit tanya dalam hatiku. Mengapa Tante Asyifa lebih memilih bersamaku ketimbang Papa? Bisa saja ia habiskan dua belas jam di acara ini bersama Papa dan memodusinya biar meninggalkan aku dan Ayah alih-alih menghabiskan waktu bersama calon anak tirinya. Bukankah sifat rerata ibu tiri seperti itu?

"Ayah, kita kayak keluarga bahagia ya." Aku  menyikut lengan Ayah. Dia berpaling padaku dan tersenyum.

Rupanya radar kewaspadaan Ayah masih tinggi. Dia mengurungku agar tidak bisa self harm. Saat memeriksa kuku-kukuku, Ayah terperangah.

"Ya, Tuhan, Ayah lupa. Kukumu panjang sekali, Sayang. Like a vampire," ucapnya sedih.

"Calvin, cariin gunting kuku. Bahaya..." Tante Asyifa memperingatkan. Apanya yang bahaya? Mereka kelewat berlebihan.

Belum sempat mereka berdua mencari pemotong kuku, panitia workshop memanggil kami. Kami memasuki ruangan workshop. Hanya sedikit peserta yang hadir. Aku dan Tante Asyifa duduk di bean bag, sedangkan Ayah memilih duduk di lantai. Aku menatap Ayah cemas. Kutahu Ayah akan kesulitan bangun lagi jika duduk di bawah begitu. Kukhawatirkan tulang punggungnya akan sakit dan semacamnya.

Workshop dimulai. Materi tentang podcast begitu menarik. Aku, yang pernah siaran radio dan suka menyanyi, merasa workshop ini cocok untukku. Selama pematerian, Ayah tak melepas genggaman tangannya dariku.

Kurasakan tangan Ayah bergerak. Kudengar Ayah terbatuk. Aku ketakutan. Kenapa lagi Ayahku?

Ayah terbatuk lagi. Konsentrasiku pecah. Pikiranku bercabang pada Ayah. Bagaimana kalau Ayah sakit dan aku tak bisa berbuat banyak untuk menolongnya? Mana Papa jauh dari kami pula.

Aku menyusupkan tubuhku ke pelukan Ayah. Mataku berair dan sakit. Kulekatkan mata kananku di lengan Ayah. Ah, begini lebih nyaman. Tangan kanan Ayah terulur, lembut menyibak rambutku.

"Sayangku ..." bisiknya lembut, menenangkanku.

Aku takut, amat takut kehilangan Ayah. "Ayah, berjanjilah satu hal padaku."

"Apa?"

"Apa pun yang terjadi, jangan tinggalkan aku."

Ayah mengiyakan. Damai hatiku. Tante Asyifa melirik kami. Bibirnya melengkung dalam senyuman tipis.

Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak meninggalkan Ayah. Meski banyak orang menganggapku aneh karena memiliki dua ayah, takkan kutinggalkan Ayah Calvin Wan. Karena Ayah Calvin terlalu berharga untuk ditinggalkan.

**   

Aku bermimpi dirimu diriku akan bertemu

Di malam itu, kudatang membawa bunga terindah

Oh, sang putri di mana kamu?

Aku ingin bertemu

Yang aku ingin hanyalah dirimu saja

Hanyalah cintamu, sayang

Kembalilah kepadaku

Jangan kau pergi

Tunggulah sebentar saja

Kita 'kan bersama lagi

Seperti di saat kita satu

Dulu kau pernah, pernah berjanji

Suatu saat kita akan kembali

Akankah kau menepati semua janjimu itu?

Aku di sini menunggu untuk menjemputmu

Oh, sang putri di mana kamu?

Aku ingin bertemu

Yang aku ingin hanyalah dirimu saja

Hanyalah cintamu, sayang

Kembalilah kepadaku

Jangan kau pergi

Tunggulah sebentar saja

Kita 'kan bersama lagi

Seperti di saat kita satu

Aku dan kamu bisa menjalin cinta kembali

Yang aku ingin hanyalah dirimu saja

Hanyalah cintamu, sayang

Kembalilah kepadaku

Jangan kau pergi

Tunggulah sebentar saja

Kita 'kan bersama lagi

Seperti di saat kita satu (Kevin and The Red Rose-Jangan Pergi).

**  

-Fragmen si kembar

Kelelahan menggerogoti tubuh Calvin. Meski begitu, ia tetap mendampingi Silvi. Bersama Asyifa, pria tampan itu menemani Silvi berkeliling menemui teman-temannya sesama penulis. Mereka mengobrol, bersalaman, cipika-cipiki, dan berfoto. Dengan bangga, Silvi mengenalkan Calvin pada banyak orang. Calvin menyaksikan putri semata wayangnya berbagi coklat sebanyak dia bisa.

Sejenak mereka menepi di dekat panggung utama. Orang-orang mengerumuni mereka. Silvi berdiri di sisi Calvin. Lagi-lagi keletihan tak biasa menjalari sekujur tubuhnya. Silvi bisa merasakan sang ayah melawan rasa lelah dan sakit, walau tak nampak dari raut wajah tenangnya.

Adica berjalan tegap menghampiri mereka bertiga. Dia lempar senyum termanisnya untuk Asyifa. Ditepuknya pundak Silvi. Dilangkahkannya kaki ke sisi Calvin.

"Calvin, are you ok?" tanya Adica, nada suaranya melunak.

"I'm good," jawab Calvin.

"Jangan sembunyikan apa-apa di balik ketenanganmu."

"Siapa yang bersembunyi?"

"Kamu lelah, Calvin. Kamu ..."

Kata-katanya terputus. Dua pasang mata sipit milik si kembar tertuju ke arah perempuan cantik yang baru tiba. Perempuan berambut panjang itu tampil anggun sekali. Selendang tenun khas Lombok terlilit cantik di atas pakaiannya.

"Astaga..."

"Ya, Tuhan, Alea?"

Dada Calvin berdesir. Tak lama, desiran itu berubah menjadi sesak. Bukan karena penyakitnya, melainkan karena terhempas lautan kenangan.

"Sana, datangi dia." Adica mendorong pelan bahunya.

"Nope. Aku sudah tidak punya harapan. Dia hanya cinta yang tak bisa kuraih. Belasan tahun lalu, Alea sudah mendapatkan pria yang jauh lebih sehat dariku."

Cahaya mentari memudar perlahan. Adica membawa Calvin ke karpet di dekat panggung utama. Silvi dan Asyifa mengikuti. Mereka duduk bersisian. Tanpa diduga, wanita cantik bernama Alea menghampiri mereka. Tepat ketika Calvin dan Asyifa akan mengurusi kuku jari tangan Silvi.

"Aku rapikan ya kukunya," tawar Alea lembut.

Kehangatan yang sama menjalari hati Calvin. Kehangatan seperti berpuluh tahun lalu. Alea duduk manis di sisi Silvi, lalu mengguntingi kukunya. Hati Calvin bergetar hebat. Manik mata Calvin menangkap gerak-gerik Alea yang tengah mengurusi Silvi dengan penuh kasih sayang.

"Calvin, mantanmu motherly ya ..." puji Adica setengah menggoda.

Tidak, Calvin telah berjanji untuk tidak berpaling. Dia dekatkan tubuhnya ke tubuh Silvi, lalu mencium kening gadis itu dengan lembut.

Demi Silvi, Calvin kesampingkan rasa lelahnya. Ia dampingi gadis cantik itu hingga awarding tiba. Menang atau kalah, Calvin akan tetap memberikan pelukan terhangatnya untuk Silvi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun