Aku tersenyum tipis. "Kalo caranya kayak gitu, ngapain aku masuk OSIS? Justru aku sengaja nggak mau libatin ortu, biar belajar mandiri. Biar aku tahu gimana susahnya cari sponsor."
Pertanyaan Yasmin menggelitikku. Sebenarnya, mudah saja bagiku meminta suntikan dana dari Papa dan Ayah. Mereka pasti akan memberikannya tanpa banyak bertanya. Tapi, apakah selamanya seorang anak bisa bergantung pada orang tua? Kalau semua anak hanya mengandalkan kekayaan orang tua, apa kabar masa depan?
Abar gembira ini segera kami laporkan pada ketua dan pengurus OSIS lainnya. Mereka ikut senang. Buru-buru aku kembali ke kelas. Aku masih sempat ikut ulangan harian Fisika.
Menjelang istirahat kedua, Catharina berkata ada yang mencariku. Segera aku mengayun langkah ke depan kelas.
"Papa? Ayah?"
Kugosok-gosok mataku. Mungkinkah mataku yang rusak? Tidak, mataku masih normal. Kedua pria tampan berjas rapi itu berdiri di depanku. Dan...Papa memberikan senyum terbaiknya untukku!
Aku menghambur ke pelukan mereka. Seisi kelas menatapku iri. Hahaha, mereka tidak punya ayah ganteng, sih.
"Silvi, maafin Papa. Papa jahat banget diemin Silvi." Papa berbisik parau.
"Udah Silvi maafin, Pa. Papa boleh kok marah sama Silvi. Tapi jangan salahin Ayah. Papa, kan, harus sayangin Ayah."
Papa mendekapku kencang. Ayah mencium lembut keningku. Hangat, hangat hatiku karenanya.
Papa sudah kembali. Aku percaya, Papa takkan marah lagi padaku dan Ayah. Kami merayakan kembalinya Papa dengan makan siang di luar. Ada restoran Jepang yang baru buka di dekat sekolah.