Calvin menahan nafas. Tak kuat menahan nafas lama-lama, pria penyuka warna hitam itu terbatuk. Adica meminta teknik pernafasan itu diulang.
Kali kedua, Calvin dapat menahan nafas selama beberapa detik. Ia bernafas perlahan-lahan. Sesak di dadanya berkurang.
"Udah enakan? Atau mau ke rumah sakit?" tanya Adica.
"Nope."
Sesaat hening. Adica melempar pandang khawatir ke arah saudara kembarnya. Persetan dengan pekerjaan yang menumpuk. Kondisi kesehatan Calvin jauh lebih penting.
"Adica, bagaimana kalau nafasku terhenti selamanya?" tanya Calvin pelan.
"Aku akan jadi orang pertama yang bersedih."
"Bukan soal itu. Bagaimana kalau nafasku terhenti selamanya sementara kamu masih mendiamkan Silvi? Siapa yang akan mengurus Silvi setelah aku pergi?"
Adica terenyak, sempurna terenyak. Batinnya menggeletar. Kenapa Calvin seperti menakut-nakutinya?
"Jangan bodoh. Kita akan merawat Silvi selamanya. Bukankah kita sudah berjanji?" sergah Adica.
Merawat Silvi, sesuatu yang sudah mereka lakukan selama empat belas tahun. Ingatan Calvin melayang ke masa awal dirinya dan Adica merawat Silvi. Ketika itu, mereka masih semester lima. Sahabat dan sepupu mereka tewas mengenaskan. Surat wasiat dibuka, amanah luar biasa jatuh ke pangkuan.