Namun, kali ini Calvin tak mendengar komplain anaknya. Tergesa ia menuju kamar.
Calvin batuk. Dahak keluar bersama dahak. Ia batuk beberapa kali lagi sebelum tenggorokannya sedikit lega.
Tubuh setinggi 175 senti itu merebah di ranjang. Calvin menatap langit-langit, memikirkan sesuatu. Ia tak boleh tinggal diam. Adica tidak bisa terus-terusan mendaimkan Silvi.
Bayangan buruk berkelebat di benaknya. Bagaimana bila kelak ia meninggal? Bagaimana bila Adica masih marah pada Silvi ketika waktunya telah tiba? Ini tak bisa dibiarkan.
Pukul sepuluh pagi, Calvin turun dari kamar. Jas Hugo Boss membalut lekuk tubuhnya. Dia menyuruh supirnya menyiapkan mobil.
"Antar saya ke kantor," instruksinya.
Supir berkemeja hitam itu mengangguk tanpa kata. Mobil meluncur ke pusat kota.
Gedung pencakar langit berlantai dua puluh itu telah lama tak didatanginya. Mobil Calvin memasuki area parkir khusus direksi. Begitu menjejakkan kaki di lobi kantor, sepasukan karyawan menyambutnya penuh hormat. Mereka bergantian menyalaminya.
"Komisaris utama datang." lapor seorang karyawan berseragam merah pada temannya yang baru datang.
Karyawan yang baru datang itu menjabat tangan Calvin. Calvin menyambut ramah semua karyawannya, lalu bertanya.
"Adica ada di kantor?"