Walaupun jam tidurnya lebih dari cukup, Calvin merasakan tubuhnya remuk. Pegal melanda sekujur tubuhnya. Kelelahan yang sulit dijelaskan menderanya tanpa kenal kasihan. Demi Silvi, ia mengabaikan semua itu.
Dibuatkannya segelas susu hangat seperti biasa. Saat akan memasak sarapan, Calvin angkat tangan. Terpaksa ia biarkan Sonia meracik bubur ayam.
"Ayah udah baikan?" Silvi menanyainya, cemas.
"Udah." Calvin berbohong.
"Hari ini aku nggak usah sekolah lagi ah. Aku mau temenin Ayah."
Calvin menggeleng tegas. Silvi harus sekolah. Kemarin ia sudah membolos.
"Lagian, bukannya hari ini Silvi ada kegiatan OSIS? Ada audiensi sama sponsor buat pensi, kan?" Calvin lembut mengingatkan.
Silvi menepuk dahinya. Bagaimana mungkin ia bisa lupa? Malah Ayahnya yang ingat.
Hanya sepuluh menit Calvin sanggup menemani Silvi. Sepotong tangan besi merogoh dadanya, memaksa dahak dan darah naik ke tenggorokan. Calvin menghela nafas dalam-dalam, mencegah dirinya terbatuk di depan Silvi.
"Sayang, Ayah ke kamar dulu ya. Kamu sarapan sama Papa." kata Calvin serak.
"What? Sarapan sama Papa? Papa aja masih marah sama Silvi."