Bibir Silvi terkatup rapat. Ia takut kegelapan. Calvin menenangkannya. Mereka pun turun dari mobil.
Calvin menuntun Silvi mendaki bukit. Jalanan terjal dan berbatu-batu. Beberapa tanjakan licin dibasuh sisa hujan kemarin. Silvi takut, tetapi ia percaya pada Ayahnya. Ayahnya bisa menuntunnya dengan baik.
Bukan keselamatan dirinya yang ada dalam prioritas. Kecemasan tentang kondisi Calvin lebih menyita pikiran Silvi. Bagaimana bila Calvin sesak nafas? Bagaimana bila dada Calvin sakit? Pendakian tidak baik untuknya.
Kekhawatiran Silvi keliru. Calvin baik-baik saja sesampai di atas bukit. Kedua tangannya melepas lembut penutup mata. Disuruhnya Silvi membuka mata.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Silvi terpesona. Sebuah bukit penuh bunga terhampar indah. Bintang-bintang menyala sangat terang dan jelas, berpadu dengan kerlip lampu kota di bawah sana. Sebuah pemandangan yang luar biasa indah.
"Wow..." bisik Silvi takjub.
"Gimana? Kamu suka?" Calvin harap-harap cemas.
"Cuma orang gila yang nggak suka ini. Temptnya bagus banget, Ayah."
Calvin tertawa, senang dan lega. Ia sempat khawatir Silvi tak menyukai tempat pilihannya. Silvi heran kenapa Ayahnya yang jarang keluar rumah punya referensi tempat sebagus ini.
Mereka berdua duduk bersila di rumput. Beberapa jurus kemudian, Calvin membuka keranjang piknik yang dibawanya. Perut Silvi melilit lapar. Terpandang olehnya dua bungkus nasi bakar, perkedel bayam kacang merah, tofu goreng Baby Kailan, carrot cornflakes nugget, vegetable siomay, dan cup cake.
"Wow, makanannya banyak banget. Makanan sehat kayak gini...pasti Ayah semua yang masak." terka Silvi.