"Nggak mau kasih tahu ah. Takutnya nggak terkabul." kata Silvi cepat.
"Ok. Kalo gitu, Ayah juga rahasiain harapannya."
Silvi mendelik. Calvin mengacak-acak rambutnya.
Kenapa interaksi mereka begitu cair? Dengan Papanya yang selalu ia kagumi pun, tak pernah Silvi sedekat ini. Seakan ada tembok tak kasat mata antara Silvi dengan sang Papa. Namun, tembok itu tak ada di antara Silvi dan Calvin.
** Â Â
-Fragmen Silvi
Tubuhku penat. Namun, hatiku seringan awan. Hari ini menyenangkan sekali. Aku dilantik menjadi pengurus OSIS. Dan aku bisa melihat bintang jatuh. Tak sabar ingin kukabarkan hal ini pada Papa.
Dalam perjalanan pulang, kuketikkan beruntai pesan ke nomor Whatsapp Papa. Kuceritakan keseruan hari ini. Senyumku mengembang saat dua centang biru berpendar di layar. Pesanku langsung dibaca. Papa sedang online.
Semenit. Tiga menit. Lima menit. Papa sudah membacanya, tapi kok tidak ada balasan ya? Apa Papa terlalu sibuk sampai lupa membaca pesan? Memangnya pesanku ini koran?
"Kenapa liatin handphone terus, Silvi? Awas, lama-lama liat handphone sementara cahaya minim bisa merusak mata." Ayah menakutiku.
Aku tertegun. Buru-buru aku mengantongi iPhoneku.