"Anak kita dilantik sebagai pengurus OSIS." jawab Calvin, tak bisa menutupi nada bangga dalam suaranya.
"Ok." Adica membalas datar.
Sejujurnya, Calvin sedikit kecewa dengan sikap Adica. Kenapa responnya datar begitu? Tidakkah dia ingin mengucap selamat pada Silvi?
"Kamu kok gitu? Ini momen penting buat Silvi. Kasih selamat dong, atau hal lain." kata Calvin kecewa.
"Calvin, terus terang aja ya. Aku lebih suka Silvi fokus sekolah. Nggak usahlah dia jadi pengurus OSIS segala. Pengurus OSIS banyak dispen tau. Ntar nilainya terganggu. Masa calon pewaris perusahaan besar nilainya kayak bebek berenang?"
Mendengar itu, Calvin terenyak. Egois sekali saudara kembarnya. Hanya akrena Adica tidak suka berorganisasi semasa sekolah. Hanya karena ia sangat berbeda dari kakak kembarnya. Jauh di dalam hati, Calvin senang karena Silvi mengikuti jejaknya.
"Silvi selalu menginginkan kehadiranku, tapi dalam banyak hal dia mirip kamu." sindir Adica.
"Pikiran seorang anak bukan milik orang tuanya, Adica. Hanya dia dan Tuhan yang memegang remote pengontrol pikiran. Kamu tak bisa memaksakan orang lain menjadi dirimu." Calvin menimpali, bijak.
Adica mendengus. Dia sebal dikuliahi pelajaran hidup oleh Calvin. Calvin pun enggan berdebat. Semenit kemudian, telepon diputus.
Selama menyetir mobil ke sekolah, Calvin memikirkan sesuatu. Hadiah apa yang akan diberikannya untuk Silvi? Teraas kurang manis bila keberhasilan Silvi menjadi pengurus OSIS hanya diganjar ucapan selamat. Calvin ingin memberi kado terindah untuk belahan jiwanya.
Diingatnya benda-benda kesukaan Silvi. Boneka? Gadis itu punya lemari kaca berisi penuh boneka, dari yang ukurannya sekecil anak tikus sampai sebesar badannya sendiri. Koleksi boneka Silvi lengkap, mulai dari Teddy Bear, Kermit, sampai Barbie. Sepatu? Terakhir kali Silvi dibelikan sepatu, sebulan lalu oleh Adica. Silvi penggila sepatu branded. Something Borrowed, Velvet, Rubi, Melissa, dan Keds, semuanya ia punya. Tas dan gaun? Sama saja. Kamar Silvi sudah penuh dengan koleksi tiga benda itu.