Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ayahku Ada Dua

12 November 2019   06:00 Diperbarui: 12 November 2019   19:53 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Opus 1
Ayahku Ada Dua

-Fragmen Silvi

Seumur hidup aku tinggal bersama mereka. Bahagia? Tentu saja. Tapi, kalau boleh jujur, aku lebih senang ada di dekat Papa ketimbang di samping Ayah.

Papa memulas monokrom di lembar hariku dengan butiran warna pelangi. Senyumnya, tawanya, keceriaannya, optimismenya, dan semangatnya menyegarkan hatiku. Energiku selalu terisi penuh tiap kali Papa di sisiku. Hmmm, sayang sekali. Papa sering asyik sendiri di perusahaan. Aku paling sebal kalau Papa tidak mengangkat telponku hanya karena rapat ini dan itu.

Kalau Papa kelewat sibuk, aku hanya ditemani Ayah. Ayahku pendiam. Ia jarang sekali membuka pembicaraan. Aku yang mendominasi percakapan selama aku membersamainya.

Buatku, Ayah tak berguna. Ia tak seperti ayah teman-temanku yang pergi ke kantor saat mentari terbit dan pulang ketika bulan memeluk malam. Ayah menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. Sempat aku berpikir kalau Ayah tidak punya pekerjaan. Namun, Papa menegurku.

"Kamu jangan bilang gitu, Silvi. Ayahmu orang hebat."

Orang hebat apaan? Berdiam diri seharian di rumah, sesekali bermain laptop dan iPhone, dianggap hebat? Mungkin Papa hanya ingin menyenangkan hati Ayah.

Walaupun kembar, Ayah selalu menyebut Papa lebih tampan darinya. Papa merasa jengah. Tapi, dia tak bisa membantah.

Entahlah. Bagiku, Papa dan Ayah sama tampannya. Aku beruntung bisa diasuh dua pria orientalis.

Pernah aku membawa teman-teman ke rumahku untuk mengerjakan tugas kelompok. Kebetulan Papa ada di rumah. Ia dan Ayah sedang menulis sesuatu di notebook. Ketika melihat Papa dan Ayah, teman-temanku speechless.

"Silvi, enak banget sih jadi kamu. Kakak-kakakmu ganteng maksimal."

Mendengar itu, aku terkikik geli. Ayah dan Papa ikut tertawa. Kudengar Ayah berkata lembut sambil bertoast dengan Papa.

"Wah, kita awet muda ya, Adica."

"Betul, Calvin. Umur 35 aja dianggap kakaknya Silvi. Masih laku nih kita."

Sontak semua temanku membelalak. Mereka kaget waktu kuberi tahu kalau kedua pria yang mereka kira kakakku, ternyata Ayah dan Papaku. Kekagetan itu berganti ketidakpercayaan.

"Ayah dan Papa? Jadi, ayah kamu ada dua? Masa sih?" Catharina, sahabatku, memasang ekspresi tak percaya di wajah ovalnya.

"Yups. Kamu nggak percaya?"

Catharina menggeleng. Satu tangannya memilin-milin rambut hitam keritingnya.

"Terserahlah. Yang penting mereka memang Ayah dan Papaku."

Natasha membuka mata segarisnya lebar-lebar. Keningnya berkerut seperti Wizzard pembawa apel beracun dalam Snow White. Gadis yang selalu menganggapku rivalnya itu menatapku, Papa, dan Ayah bergantian.

"Mirip...tapi nggak mirip. Kalian bertiga sama-sama putih. Tapi, mata dua ayah kamu sipit. Nah lho, mata kamu biru. Kamu bukan anak mereka ya?" tuduhnya.

"Memang bukan!" sahutku lantang.

Untung aku sudah punya amunisi untuk menjawab pertanyaan Natasha. Terima kasih buat pendidikan demokratis ala Ayah Calvin Wan dan Papa Adica Wirawan.

"Ortu aku meninggal pas umurku tiga bulan. Waktu itu, Papa dan Ayah masih kuliah. Mereka dapat amanah buat rawat aku."

Kulihat bibir teman-temanku membundar membentuk huruf "O". Natasha melongo seperti patung gargoyle di serial Harry Potter.

"Cerita hidupmu kayak sinetron." komentarnya.

"Bedanya, kamu nggak nangis histeris pas ceritain ini semua."

"Iyalah. Aku kan bukan drama queen."

Aku pun heran dengan diriku sendiri. Waktu aku tahu kenyataan ini, aku luar biasa tenang. Aku sudah yakin sekali kalau aku anak kandung salah satu dari Papa atau Ayah. Kenyataannya, aku anak sahabat plus sepupu mereka.

"Kamu pernah nggak, ziarah ke makam ortumu?" tanya Catharina kepo.

"Pernah dong. Tiap bulan aku selalu ziarah. Papa dan Ayah anterin aku. Iya kan, Pa, Ayah?"

Ayah dan Papa kompak mengangguk. Ditingkahi tatapan iri teman-temanku. Hahaha, selamat menikmati rasa iri Ayah kalian kan hanya satu. Belum tentu setampan Papa dan Ayahku.

Senangnya punya Papa dan Ayah super ganteng. Bukan berarti aku senang selamanya. Suatu sore, saat jalan-jalan di mall, aku pernah dilirik sinis oleh dua orang ibu muda.

"Ceweknya centil amat ya...masa jalan sama dua cowok sekaligus."

"Kemaruk tuh. Amit-amit, jangan sampai Catherine dan Yohanna kayak dia nantinya."

Darahku mendidih. Ingin kuteriaki mereka. Papa melotot galak. Ayah menenangkan kami. Kata Ayah, orang lain tak mengerti betapa indahnya hari-hari yang kami lalui.

Ah, Ayah. Selalu saja begitu. Tak pernah kulihat Ayah marah-marah pada sesiapa. Sekedar menggerundel pun belum pernah. Seorang ART pernah mengotori jas kesayangan Ayah dengan bubuk coklat. Ayah tersenyum tenang, lembut mengingatkan si ART untuk lebih hati-hati.

**   

Aku melangkah gontai dari lantai tiga. Rumah utama memiliki tiga lantai, dan aku menempati kamar di tingkat teratas. Kutapaki anak tangga pualam. Dinginnya pagar tangga menggerayangi telapak tanganku.

Kususuri lorong penghubung ruangan satu dengan ruangan lain. Gema langkah kakiku dipantulkan dinding-dinding krem. Lelampu kuning keemasan menggantung dari langit-langit, menghangatkan pandangan mataku.

Hmmmm, kadang aku lelah juga tinggal di rumah besar. Ini baru rumah utama, belum lagi paviliunnya. Papa sering tinggal di paviliun berlantai dua di samping rumah utama kalau sedang suntuk. Rumah akan bertambah sepi karena hanya aku dan Ayah yang menempatinya. Jika aku merasa lelah memiliki rumah sebesar ini, cepat-cepat kuingatkan diriku sendiri.

Ayah sempat menasihatiku tentang nasib anak-anak seusiaku yang tinggal di barak pengungsian. Aku belasan kali lipat lebih beruntung dari anak-anak korban bencana dan peperangan. Mereka kehilangan rumah, sementara aku bisa tidur nyaman di kamar besar berpendingin udara.

Aku tiba di lantai pertama. Beberapa meter dari pintu ruang makan, aku terhuyung ke belakang. Ya, Allah, kenapa perutku sakit sekali? Satu tanganku mencengkeram perut dengan kuat. Kepalaku menunduk.

Dan...

Astaga! Noda merah apa itu di rok putihku? Makin lama, noda merah makin banyak. Aku merosot ke latai.

"Papaaaa!" teriakku panik.

Sunyi. Aku kian panik.

"Papaaaa!" teriakku lagi, lebih kencang.

Serta-merta pintu jati bercat coklat di depanku menganga. Bukan sosok Papa yang dimuntahkannya, tetapi Ayah. Kulihat wajah Ayah tegang. Dia membungkukkan tubuh tingginya di depanku.

"Ayah, rok seragamku berdarah!" Aku mengadu. Rasanya baru September lalu aku meniup lilin berbentuk angka 14. Tapi, aku masih mengadu sambil menangis seperti anak kecil.

"Nggak apa-apa, Sayang. Ini normal." kata Ayah menenangkan.

Mataku membola. Sebentar lagi aku akan menambahkan kata 'gila' di belakang nama Calvin Wan. Rokku penuh darah begini dibilang normal?

"Normal gimana, Ayah? Darahnya banyak gini!" jeritku histeris.

Ayah mengusap rambutku. Digendongnya tubuhku. Aneh, Ayah yang sering sakit begitu masih kuat menggendong tubuhku? Dibawanya aku ke ruang kerjanya. Kuamati Ayah membuka laci meja, lalu mengeluarkan bungkusan besar berwarna biru. Isinya pembalut sepanjang 32 senti.

"Ayah sudah menyiapkannya. Kamu pakai ya. Anak Ayah sudah besar..."

Kuterima pembalut putih dari tangan Ayah. God, aku tidak bisa memakainya! Ayah paham. Dan...kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya? Ayah mengajariku memakai benda itu. Dilekatkannya pembalut bersih pada sehelai celana dalam baru yang masih bersih. Aku terkesan, sungguh terkesan. Silakan menyebut keluarga kecilku tidak waras.

Memang beginilah adanya. Seorang pria dewasa membantu anak gadisnya memasang pembalut wanita. Begitu luas pengertian pria tersebut. Sadar kalau anak gadisnya tumbuh tanpa pendampingan wanita dewasa, pria itu menjalankan peran dobel sebagai ayah merangkap ibu.

"Calvin, Silvi, ada apa? Sorry, tadi Papa beresin slide presentasi dulu. Nanti siang ada rapat penting."

Papa berlari-lari memasuki ruang kerja. Aku mengerucutkan bibir. Sudah terlambat.

"Adica, anak kesayangan kita sudah besar." Ayah mengumumkan dengan gembira.

"Apa maks...? Oh my God! Really?"

Selesai dengan urusan pembalut wanita, kami sarapan bersama. Ayah membuatkan pai berisi vla dan keju untuk kami. Kue buatan Ayah terasa enak seperti biasa.

"Aduh, perutku sakit. Kalau menstruasi rasanya kayak gini ya?" rintihku.

Kurasakan belaian Ayah di kepalaku. "Silvi nggak usah masuk sekolah ya. Istirahat dulu aja."

Aku menggeleng kuat. Tidak, aku harus masuk. Hari ini waktunya Frater Gabriel bertemu dengan calon-calon anggota OSIS. Masa aku tidak masuk sekolah?

"Hari ini ada pembinaan buat calon anggota OSIS, Ayah." sanggahku.

"Ah, khawatir banget sih. Kamu pasti diterima walaupun nggak ikut tahapan rekrutmen dari awal. Nggak ada yang berani nolak kamu. Papa kan pemegang sepertiga saham di yayasan." timpal Papa pongah.

Ayah melempar pandang tak suka ke arah Papa. Yes, Ayah kelihatan tidak setuju dengan kesombongan Papa kali ini. Aku tetap ingin masuk sekolah. Nanti aku tidak bertemu Frater keren.

Aku baru bertemu dengannya singkat sekali. Tanpa sadar, aku bersenandung pelan.

Pertemuan singkat dan berjalan sangat cepat
tidak disangka aku langsung terhipnotis olehmu
setidaknya kamu sempat menjadi milikku
meskipun tak lama, hal itu telah membuat ku bahagia
Kau buat hidupku tak berarti tanpa kamu
kini kau menghilang dan aku terhipnotis olehmu
setidaknya kamu sempat menjadi milikku
meskipun tak lama, hal itu telah membuat ku bahagia
Dengan masalah... (Vierra-Pertemuan Singkat).

**   


-Fragmen si kembar

Calvin melambai, melepas laju SUV hitam itu. Perlahan dia membalikkan tubuh. Ia berjalan masuk ke rumah. Sesal menggunung di dadanya karena tak bisa mengantar Silvi ke sekolah. Andai saja ia lebih kuat menjaga Silvi.

Saat kembali ke ruang kerjanya, langkah Calvin surut. Jarum-jarum es menusuk tajam punggungnya. Tak apa, biarlah sakit ini datang sekarang. Toh ia sendirian.

Susah payah diraihnya sebuket lily. Lily putih itu akan dihadiahkannya untuk Silvi. Tapi...kenapa kelopak-kelopak putihnya berubah merah?

Calvin tertegun. Darah segar mengalir dari hidungnya. Tetes-tetes darah mewarnai kelopak lily. Ia mimisan lagi, dan lebih banyak dari sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun