Dan...
Astaga! Noda merah apa itu di rok putihku? Makin lama, noda merah makin banyak. Aku merosot ke latai.
"Papaaaa!" teriakku panik.
Sunyi. Aku kian panik.
"Papaaaa!" teriakku lagi, lebih kencang.
Serta-merta pintu jati bercat coklat di depanku menganga. Bukan sosok Papa yang dimuntahkannya, tetapi Ayah. Kulihat wajah Ayah tegang. Dia membungkukkan tubuh tingginya di depanku.
"Ayah, rok seragamku berdarah!" Aku mengadu. Rasanya baru September lalu aku meniup lilin berbentuk angka 14. Tapi, aku masih mengadu sambil menangis seperti anak kecil.
"Nggak apa-apa, Sayang. Ini normal." kata Ayah menenangkan.
Mataku membola. Sebentar lagi aku akan menambahkan kata 'gila' di belakang nama Calvin Wan. Rokku penuh darah begini dibilang normal?
"Normal gimana, Ayah? Darahnya banyak gini!" jeritku histeris.
Ayah mengusap rambutku. Digendongnya tubuhku. Aneh, Ayah yang sering sakit begitu masih kuat menggendong tubuhku? Dibawanya aku ke ruang kerjanya. Kuamati Ayah membuka laci meja, lalu mengeluarkan bungkusan besar berwarna biru. Isinya pembalut sepanjang 32 senti.