Senangnya punya Papa dan Ayah super ganteng. Bukan berarti aku senang selamanya. Suatu sore, saat jalan-jalan di mall, aku pernah dilirik sinis oleh dua orang ibu muda.
"Ceweknya centil amat ya...masa jalan sama dua cowok sekaligus."
"Kemaruk tuh. Amit-amit, jangan sampai Catherine dan Yohanna kayak dia nantinya."
Darahku mendidih. Ingin kuteriaki mereka. Papa melotot galak. Ayah menenangkan kami. Kata Ayah, orang lain tak mengerti betapa indahnya hari-hari yang kami lalui.
Ah, Ayah. Selalu saja begitu. Tak pernah kulihat Ayah marah-marah pada sesiapa. Sekedar menggerundel pun belum pernah. Seorang ART pernah mengotori jas kesayangan Ayah dengan bubuk coklat. Ayah tersenyum tenang, lembut mengingatkan si ART untuk lebih hati-hati.
** Â Â
Aku melangkah gontai dari lantai tiga. Rumah utama memiliki tiga lantai, dan aku menempati kamar di tingkat teratas. Kutapaki anak tangga pualam. Dinginnya pagar tangga menggerayangi telapak tanganku.
Kususuri lorong penghubung ruangan satu dengan ruangan lain. Gema langkah kakiku dipantulkan dinding-dinding krem. Lelampu kuning keemasan menggantung dari langit-langit, menghangatkan pandangan mataku.
Hmmmm, kadang aku lelah juga tinggal di rumah besar. Ini baru rumah utama, belum lagi paviliunnya. Papa sering tinggal di paviliun berlantai dua di samping rumah utama kalau sedang suntuk. Rumah akan bertambah sepi karena hanya aku dan Ayah yang menempatinya. Jika aku merasa lelah memiliki rumah sebesar ini, cepat-cepat kuingatkan diriku sendiri.
Ayah sempat menasihatiku tentang nasib anak-anak seusiaku yang tinggal di barak pengungsian. Aku belasan kali lipat lebih beruntung dari anak-anak korban bencana dan peperangan. Mereka kehilangan rumah, sementara aku bisa tidur nyaman di kamar besar berpendingin udara.
Aku tiba di lantai pertama. Beberapa meter dari pintu ruang makan, aku terhuyung ke belakang. Ya, Allah, kenapa perutku sakit sekali? Satu tanganku mencengkeram perut dengan kuat. Kepalaku menunduk.