"Iya, Sivia?"
"Aku kesal sama kamu. Kamu beli kaki palsu buat Jose tanpa bilang aku. Uang tiga juta buat beli kaki palsu, mendingan buat suntikan dana ke stasiun TV yang lagi kolaps. Memangnya Jose masih kurang kaya buat beli kaki palsu sendiri?"
Omelan bernada menyalahkan meluncur dari bibir Sivia. Alih-alih balas mengomel, Calvin mengelus rambut panjang istrinya.
"Menolong tidak boleh membedakan status sosial, Sivia. Lagi pula, uang tiga juta takkan banyak berarti untuk TV itu. Dia butuh dana puluhan Milyar. Sejak awal, aku membuat media idealis bukan untuk profit. So, tidak apa-apa kalau harus tutup. Nothing to loose."
"Ya tetap saja...kamu kan sudah mendirikannya susah payah. Masa mau berakhir begitu saja?"
Belaian Calvin semakin lembut. "Kalau televisi itu ditakdirkan tetap jalan, takkan ada yang bisa menghancurkannya."
Sivia membuka mulutnya ingin membantah lagi. Akan tetapi, dia batal membantah karena Calvin mendaratkan ciuman hangat di keningnya.
Tapi...
Ciuman ini tak biasa. Sivia menyentuh dahi. Cairan merah pekat menempel di tangannya. Pada saat bersamaan, Calvin menjauhkan tubuh dari Sivia.
"Uhuk..." Calvin terbatuk.
Lagi-lagi Sivia ditinggal sendiri. Calvin meninggalkannya untuk muntah dan membersihkan darahnya. Sivia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit dengan masygul.