Di hidupku (Rossa-Cinta Di Hidupku).
Permintaan Jose dan Alea untuk tidur lebih awal kulanggar. Alih-alih beristirahat, aku malah bermain piano. Istirahat bukanlah solusi terbaik untukku saat ini.
Malam ini aku merindukan Sivia. Nama Sivia memenuhi rongga hatiku. Oksigen serasa menipis di dadaku, tersumbat oleh sesaknya rindu. Aku merindukan Sivia hingga aku sulit bernapas.
Sivia, mengapa kamu menghilang dari sisiku?
Mengapa kamu tak mau lagi membersamai hari-hariku?
Apakah kenyamanan artifisial di apartemenmu lebih menyenangkan ketimbang ketenangan yang coba kuberikan padamu?
Bagaimanakah kondisimu saat ini?
Kuatkah kamu melawan monster menakutkan bernama self injury?
Rentetan tanda tanya berdesakan di kepalaku. Aku berharap gerimis di luar sana membantuku menyalurkan pertanyaanku pada Sivia. Sayangnya, gerimis itu tak dapat diandalkan untuk memburu jawaban. Ia tak lama singgah. Menjelang tengah malam, langit kembali tenang tanpa air mata.
Dadaku sesak menahan berton-ton beban rindu. Kurindukan Sivia. Kucemaskan dirinya. Dimanakah putri kecilku? Ya, aku selalu menganggap Sivia seperti seorang putri. Putri yang cantik dan menggemaskan. Sivia bisa menjadi apa saja untukku: adik, pasangan hidup, sahabat sejati, Princess, bahkan anak perempuanku. Sebaliknya, aku pun bisa berperan apa saja buat Sivia. Rentang perjalanan cinta kami membuktikannya. Sekali waktu aku menjadi ayah, caregiver, guru, konselor, story teller, tempat curhat, teman terbaik, dan malaikat untuknya. Aku selalu berusaha menjadi full time usband untuk Sivia.
"Sivia...where are you, my little Princess?" rintihku.