Kuperhatikan saja ia memotong-motong daging. Kemudian dicampurkannya arak beras, bawang putih, jahe parut, bumbu Ngohiong, dan Le Kum Kee. O-ow, aku tahu. Sepertinya dia akan memasak Charsiu atau babi panggang. Untuk apa ya? Apakah Calvin berubah pikiran? Apakah ia ingin membuang penat hidupnya dengan menikmati daging babi?
"Hei, apa yang kamu lakukan? Buat apa masak daging babi?" Kuajak dia bicara. Namun, dia tak mendengarkanku.
Aku berdecak kesal. Di luar, hujan mengguyur lebat. Petir sambar-menyambar. Cahaya kilatnya menyilaukan mata. Cuaca sungguh tidak bersahabat.
Pintu dapur terbuka keras. Alea masuk terburu-buru. Matanya melebar mendapati daging babi terpotong rapi di mejaku.
"Calvin, what are you doing?" tanyanya heran.
"Memasak babi panggang untuk sepupuku yang kritis. Dia minta dibuatkan Charsiu." jawab Calvin apa adanya.
"Apa? Masa orang kritis diberi babi panggang? Bisa melonjak tensinya!" protes Alea.
Sejurus kemudian, Calvin berbalik dari oven. Diangkatnya dagu Alea. Dengan lembut, dia berucap.
"Alea, temani aku memasak ya. Tidak, kamu tidak perlu mengolah daging babi. Temani saja aku di sini. Nanti kujelaskan."
Alea mendesah pasrah. Dijatuhkannya tubuh tinggi langsingnya ke sebuah kursi. Dengan gelisah, mantan gadis sampul itu memilin-milin rambut pendeknya.
Asap Charsiu mengepul. Kulihat wajah Alea pucat menahan mual. Pastilah dia merasa asing mencium harum daging babi.