Bahasa Cinta
Pagi itu, kegiatan belajar ditiadakan. Ada acara spesial di yayasan. Tepatnya, acara tahunan yang menampilkan anak-anak berprestasi.
Gadis kecil berparas manis itu bernyanyi membuka acara. Ia menari lincah sambil menyenandungkan lirik lagu. Bibir mungilnya merapalkan lirik demi lirik dengan artikulasi yang jelas. Dia salah satu penerima penghargaan siswa berprestasi tahun ini.
Kaulihat aku di sini seutuhnya
Sendiri merasa bahagia karenamu
Setelah air mata kehilangan dan juga kecewa
Kini hanya satu yang kupercaya
Kau membuatku bahagia
Jika ini memang saatnya
Mimpiku akan menjadi nyata
Ku percaya kuatnya cinta
Semua akan menjadi indah pada waktunya
Sementara si gadis manis bernyanyi, Jose dan Silvi menjadi penari latar. Mereka sangat menikmati peran ini. Terbiasa menyanyi di panggung, kini kedua anak itu ingin mencoba hal baru.
Asyiknya jadi penari latar, pikir Jose girang. Tangan dan kakinya bergerak seirama musik. Semua gerakan koreografi yang diajarkan Ayah Calvin dan Bunda Alea dipraktikkannya. Beruntung sekali Jose memiliki orang tua yang pintar koreografi. Bunda Alea belajar beberapa tarian, mulai dari Tari Giring-Giring sampai Tari Kecak. Ayah Calvin pernah membantu temannya mengajar modern dance. Selain itu, kedua orang tua Jose mantan model. Catwalk dan koreografi bukan hal asing bagi mereka.
Silvi merasa tubuhnya seringan kapas. Menari ternyata menyenangkan. Lain waktu dia akan meminta Paman Revan untuk memasukkannya ke sekolah koreografi.
Sementara itu, di backstage, Ayah Calvin tersenyum memperhatikan penampilan murid-muridnya. Mereka berbakat, pintar, dan berprestasi. Siapa yang tidak bangga?
"Calvin, kamu yakin mau menemui mereka? Tanda-tanda sakit itu bisa terbaca jelas." Bunda Alea memastikan untuk ketiga kali.
Refleks Ayah Calvin melempar pandang ke cermin. Menatap pantulan wajahnya sendiri yang begitu pucat. Bunda Alea memeluknya lembut.
"Jangan dipaksakan bila tak bisa..."
"Untuk anak-anak aku selalu bisa, Alea."
Ayah Calvin sedikit terbatuk. Tepat ketika Jose kembali ke belakang panggung.
"Ayah...Ayah sudah minum obat?" tanya bocah tampan bermata sipit itu khawatir.
Mata Bunda Alea berkedip ke arah Jose. Anak dan bunda itu menyuarakan kecemasan yang sama.
"Sudah, Sayang." jawab Ayah Calvin seraya membelai rambut Jose.
Dua pasang mata sipit beradu. Jose menyuarakan kecemasannya tanpa kata. Berharap sang ayah mengerti.
Sesakit apa punya penyakit kekentalan darah itu?
Kenapa darah harus menggumpal di beberapa tempat?
Setumpuk tanda tanya memenuhi kepala Jose.
"Sayangku, sudah waktunya. Ayo."
Bunda Alea meraih tangan suaminya. Setelah mengancingkan jasnya, Ayah Calvin berjalan menuju podium. Semua mata tertuju padanya. Pria tampan bermata sipit berjas hitam, pengajar, pemilik yayasan, sekaligus penyayang sejati. Para murid dan wali begitu mengaguminya.
"Saya ingin mengungkapkan rasa bangga pada semua murid berprestasi tahun ini. Mutiara prestasi di tangan kalian harus tetap dijaga. Tanpa kerendahan hati, prestasi tiada artinya..."
Sambutannya terhenti. Ayah Calvin terbatuk. Darah segar mengaliri hidung dan sudut bibirnya. Audience berbisik-bisik, tegang bercampur resah.
Terburu Bunda Alea memapah pria pendamping hidupnya. Menjauh dari dengungan tanya. Membawanya dalam ketenangan dan penawar rasa sakit. Semua itu dilakukan sang istri tanpa kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H