Minggu pagi, waktu yang telah dinantikan Sivia. Hari ini dia akan bertemu Ayahnya. Sudah jadi kesepakatan di antara Sivia dan Ayah-Bundanya. Anak cantik itu hanya boleh datang ke rumah sakit di akhir minggu. Sabtu kemarin, Sivia latihan modeling. Sekaranglah saatnya.
"Saat putriku datang, aku tidak boleh membuatnya cemas." gumam Calvin pada dirinya sendiri.
Pelan-pelan ia bangkit dari ranjang putih. Ia menaburkan pandang ke sekeliling ruang rawat VIP. Memastikan tak ada bercak darah, sisa makanan yang tertumpah, dan jejak-jejak rasa sakit. Semuanya harus sempurna.
"Sempurna..." puji Alea sambil bertepuk tangan.
Ia berputar di depan cermin. Menatapi bidadari kecilnya dari atas sampai bawah. Dress putih, mata biru, rambut panjang yang tergerai rapi, dan wajah perpaduan Tionghoa-Jawa-Belanda yang dirias natural. Sivia tampak sangat cantik.
"Cantik..." lirih Calvin. Terharu hatinya melihat foto yang dikirimkan Alea.
Betapa cantik putrinya. Selain Alea, Sivialah harta Calvin yang paling berharga. Alea dan Sivia merupakan alasan terbesarnya untuk tetap bertahan.
Ok fine. Sivia saja sudah bersiap tampil secantik princess untuk menemuinya. Dia pun tak ingin mengecewakan perhiasan hatinya.
Calvin melangkah tertatih ke dekat cermin. Terdapat wastafel putih di bawah cermin itu. Dengan sedih dipandanginya pantulan wajahnya sendiri. Inikah malaikat tampan bermata sipitnya Alea dan Sivia? Pucat begini masih dibilang tampan?
"Ayahmu tetap tampan, Sayang. Tampan luar-dalam. Apa pun keadaannya." Alea berkata bijak. Lembut membelai kepala Sivia.