Gadis kecil sembilan tahun itu mengangguk. Ya, Ayahnya pria tertampan di dunia.
Dunia berputar cepat. Tangan Calvin mencengkeram erat tepi wastafel. Dia baru saja mengganti piyama rumah sakitnya dengan jas. Tekadnya mengeras untuk menyambut putri cantiknya dengan penampilan sempurna. Jangan sampai tertangkap segurat pun kesakitan.
Tes.
Sesuatu menetes pelan dari hidungnya, merah dan pekat. Bercak darah menjatuhi pinggiran wastafel. Ah, syukurlah. Dara ini mengalir lebi awal. Sebelum Sivia dan Alea datang.
"Datang, Nyonya."
Perempuan bercelemek putih dan berambut beruban itu tergesa memasuki kamar. Wajah bulatnya menampakkan senyum ceria seperti biasa. Pandangan Alea berpindah ke arah asisten rumah tangganya, lalu ia berkata.
"Tolong siapkan sarapan. Saya sudah terlanjur touch up begini, sayang kalau harus masak."
"Siap, Nyonya."
Si asisten rumah tangga melenggang pergi. Alea kembali memfokuskan perhatian pada anak tunggalnya. Ia membungkuk, meneteskan obat ke kedua mata Sivia.
"Mungkin sedikit sakit, Sayang. Tahan ya..." pintanya halus.
Sivia mengerjap. Kembali ia teringat sang ayah. Calvin saja kuat dengan rasa sakit, mengapa dia tidak?