Tapi...
Benarkah mereka akan datang? Notifikasi yang berebutan masuk ke iPhonenya menjadi jawaban.
Jawaban Bundanya sungguh mengecewakan. Tidak, mereka tidak bisa pergi. Seharian mereka akan tertahan di rumah besar berlantai tiga ini. Semuanya gara-gara pengumuman bodoh yang masuk ke handphone Alea.
Mengapa harus ada gangguan di detik-detik terakhir? Sivia terisak, membenamkan wajahnya di bantal. Tak ada cahaya, tak ada kesejukan, bahkan video call dari Ayahnya pun tak ada. Gangguan besar ini melumpuhkan semuanya. Sivia pun tersadar. Betapa tergantungnya mereka pada listrik. Tanpa teknologi, hidup serasa hampa.
Peringatan ini mengusik hati Alea. Mana mungkin ia biarkan rumah kosong dalam keadaan listrik padam sepanjang hari? Berbahaya sekali. Bisa-bisa sekelompok oknum tak bertanggung jawab mengambil kesempatan dalam kesempitan.
"Jadi, kita nggak akan ketemu Ayah?" ratap Sivia.
Mereka tidak akan datang, Calvin membatin resah. Terlalu berisiko. Rumah sakit ini memang aman dari kegelapan dan ancaman pencurian. Tetapi, rumah-rumah di kompleks yang terselimuti kegelapan itu?
Itu berita terburuk yang diterima Sivia di akhir minggu. Rindunya terlanjur membuncah. Alih-alih bertemu malaikatnya, ia malah terkurung di sini. Terkurung dalam kegelapan dan kehampaan.
Alea merengkuh Sivia. Menciumi pipi anak itu. Jangankan Sivia, Alea pun menyimpan rindu. Dia ingin, ingin sekali memeluk Calvin. Berbagi kehangatan dengannya, bertukar ketenangan bersamanya. Dua wanita cantik beda generasi itu patah hati.
Di rumah sakit internasional itu, hati Calvin berantakan. Kepingan-kepingan hatinya berserakan. Bila bukan minggu ini, kapan lagi? Rasanya Calvin seperti didesak waktu.
Waktu merambat pelan. Tanpa listrik, waktu serasa begitu lambat. Tangis Sivia belum lesap.