"Sivia mau peluk Ayah. Sivia mau cium Ayah," isaknya.
Pagi menyudahi perjumpaannya dengan langit. Sebentar kemudian beranjak siang. Siang bertukar posisi dengan sore. Sore mengucap salam perpisahan kala rona jingga-kemerahan senja hadir memberi warna. Tak lama, senja digantikan. Malam mencium langit dengan mesranya.
Dua belas jam berlalu. Gangguan besar ini tak juga berakhir. Alea makin sedih mendapati banyak obrolan bernada tangis di grup-grup aplikasi chatting yang diikutinya. Sejumlah ibu menyusui menangis karena stok ASInya rusak. Beberapa gadis cantik yang dikenalnya mengeluh lantaran tugas akhirnya tidak tersimpan ketika listrik keburu padam. Mantan rekan setimnya nekat ke kantor di hari Minggu agar bisa mendapat pasokan listrik. Berpasang-pasang suami-istri yang bosan dengan gangguan besar itu memutuskan pergi ke mall demi mencari cahaya dan hiburan. Lelah hati Alea menerima serangkaian curhatan tentang gangguan menyedihkan ini.
"Ayah...Ayah."
Baiklah, sedu-sedan Sivia lebih peenting dibanding curhatan orang luar. Alea menenangkan Sivia. Apa pun ia lakukan agar putrinya tidak sedih dan ketakutan. Sayangnya, kehadiran Alea tak bisa menggantikan Calvin.
Calvin bisa merasakan ketakutan Sivia. Jarak tak memutus ikatan batin. Andai saja gangguan besar ini melibatkan dua pilihan. Calvin lebih memilih dirinya terjebak kegelapan asalkan bisa memeluk Sivia dan Alea.
** Â Â
Kegelapan ini, kapankah berakhir?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H