Tibalah saat pemilihan ketua kelas. Aku jadi salah satu calonnya. Tak pernah kuharapkan itu. Diterima sebagai siswa sekolah favorit ini pun sudah bersyukur. Tak mudah bagi anak penderita kanker darah sepertiku untuk bersekolah di tempat formal.
Akhirnya aku terpilih. Sungguh tak kusangka. Mengapa harus aku? Lambat laun aku tahu kalau Joselah yang mempengaruhi teman-teman sekelas untuk memilihku. Hmmmm, Jose. Sahabatku itu terlalu baik. Padahal ia sendiri dicalonkan juga.
Dewan guru sempat ragu. Namun Ayah Calvin meyakinkan mereka. Ya, Ayah Calvin mempercayaiku! Ia percaya, anak spesial mampu diberi amanah sebagai pemimpin. Tak pernah Ayah Calvin menyebut 'cacat' atau 'difabel' pada anak-anak sepertiku. Aku disebutnya anak spesial.
Hari-hari berlalu. Kujalankan tugasku sebaik mungkin. Tubuhku serasa makin lemah saja. Beberapa kali aku terbangun di pagi hari dalam keadaan lemas dan lumpuh. Kupaksakan tetap bersekolah dan memimpin kelas.
Ayah Calvin sangat kagum padaku. Dia menyayangiku tanpa syarat. Alih-alih Mommy, Ayahlah yang menemaniku kemoterapi. Pada seri ketiga kemoterapi, aku sangat kesakitan. Sambil mendekapku, Ayah Calvin berkata.
"Biar sakitnya pindah ke Ayah."
Tidak, aku tak kuat lagi. Aku sadar, Ayah Calvin bukan Ayahku. Bebaskan aku dari sakit ini. Tapi, bila aku bebas, takkan mungkin aku bertemu Ayah sebaik ini lagi.
Waktuku telah habis. Sebelum kanker merenggut nyawaku, punggungku dihantam peluru-peluru tajam. Masjid tempatku shalat ditembaki. Seluruh tubuhku melayang ringan, ringan seperti kapas. Rasa sakit ini, perih ini, lenyap. Aku telah bebas.
Selamat tinggal, Ayah. Selamat tinggal Ayah terbaik dalam hidupku.
*Paulina*
Tiap hari aku merindukan Daddy. Kata Mommy, Daddy takkan pernah bisa tinggal serumah denganku. Aku sedih mendengarnya.