Jangan Tutup Gereja Kami
Luka di hati Bunda Alea memahat perih. Bukan, kabun karena Ayah Calvin nymeakitinya. Pernikahan ini tak sedikit pun membawa intrik rumah tangga yang melukai batin.
Demi Nabi Musa yang masa kecilnya dilewati bersama Asiah, Bunda Alea sungguh tak tega. Andai saja memori itu ada dalam ingatannya saja. Biarlah, tak apa sepanjang hidup dia tersiksa oleh sepotong ingatan. Asalkan jangan orang lain.
"Tinggalkan aku sendiri, Alea." pinta Ayah Calvin, menghindari tatapan mata istrinya.
"No way. Istri macam apa aku bila membiarkanmu sendiri? Luka itu terlalu besar untuk kaubawa sendiri."
Membawa-bawa luka. Sungguh menyakitkan. Bodoh dan tidak berguna kalau kata Paman Adica. Sayangnya, judgement tak sedikit pun melunturkan kesakitan.
Bunda Alea benci situasi ini. Kala suaminya tak lagi hangat hanya gegara luka. Luka besar yang menganga, melebar, dan membentuk luka yang lebih besar lagi di hatinya. Sampai kapan luka itu memenjarakan malaikat cintanya?
Terselip tanya di hati Bunda Alea. Siapakah yang telah menyakiti Ayah Calvin? Siapa yang telah melukai hati lembutnya? Mengapa para pemegang izin itu bersikap sangat diskriminatif? Mengapa pula harus Ayah Calvin?
"Aku tidak akan meninggalkanmu." kata Bunda Alea tegas.
Ayah Calvin terbatuk. Dadanya ditimpa rasa sakit. Luka berhamburan, tepat di hari yang sama dengan setahun lalu.