"Dimana Jose?" tanyanya perlahan.
"Jose pergi bersama Steven. Sepertinya mereka ke gereja. As you know..."
Ah, mengapa harus di hari yang sama? 21 tahun berselang, kejadian sama terulang lagi. Mayoritas memukul minoritas dengan tangan besi. Bayang-bayang buruk berkelebat di benak Ayah Calvin.
"Tidak bisakah kau cegah dia pergi? Dia mendengarkanmu, Alea." Ayah Calvin mengerang putus asa.
"Sudah terlambat. Kupikir tak ada salahnya membiarkan Jose pergi. Kejadian ini dapat membuatnya lebih toleran dan berempati."
Ingin rasanya Ayah Calvin mematahkan rasionalisasi istrinya. Tanpa penutupan gereja pun, Jose sudah terlatih toleran. Empatinya besar. Persahabatan lintas identitas dengan mendiang Andrio, Livio, dan Hito menjadi bukti.
Pria berkacamata itu terbatuk lagi. Susah payah ia bangkit dari posisi berbaringnya. Bunda Alea mengulurkan tangan tanpa kata. Tekanan pengalaman traumatis di masa lalu menjelma jadi batuk psikogenik.
Tangan Ayah Calvin menekan punggungnya. Walau tak terkatakan, Bunda Alea tahu pasti kalau suaminya kesakitan. Ayah Calvin menumpuk beban berat. Kehilangan anggota keluarga, kenyataaan akan kondisinya sendiri, dan masa lalu yang kelam memukulnya di waktu berdekatan.
Lembut dan penuh cinta, Bunda Alea memapah Ayah Calvin ke kursi piano. Diperhatikannya Ayah Calvin yang menarikan jarinya di atas piano. Tanpa nyanyian. Hanya menyisakan denting lembut.
** Â Â
Menatapmu tak lagi mampu