Langkah kakinya melambat. Jalanan yang dipijaknya berputar cepat. Rasa sakit serasa ditumpahkan berlarat-larat. Ayah Calvin merasakan hidungnya mengalirkan cairan merah pekat.
Tubuh itu, tubuh yang rapuh dan menunggu waktu, jatuh mencium aspal. Ayah Calvin jatuh pingsan. Anak penjual kue itulah yang melihatnya. Â Ia tinggalkan dagangannya begitu saja, lalu berlari mencari bantuan. Tubuhnya yang kecil kurus riskan mengangkat tubuh Ayah Calvin.
Lelaki-lelaki kekar berwajah berminyak mengangkat tubuh Ayah Calvin. Anak penjual kue lekat mengiringi langkah mereka. Nada-nada kecemasan terdengar. Semua orang yang merasa bagian dari kaum marginal itu mengenal Ayahnya Jose. Calvin Wan, figur pria tampan dan kaya, sering mengucurkan uang pribadinya untuk menolong mereka.
Sementara itu, di kamar tidurnya, Bunda Alea dirasuki kekhawatiran. Firasatnya tak enak. Bayang-bayang suaminya melangkah sendirian dengan wajah pucat dan hidung darah mengacaukan perasaan.
Bunda Alea berbaring dengan mata terbuka lebar. Anjuran suaminya untuk mengistirahatkan otak lesap dari prioritas. Dia takkan tidur sebelum suaminya kembali.
Tenggelam dalam ketakutan, Bunda Alea tak mendengar dering bel pintu di bawah sana. Barulah perhatiannya teralih ketika seorang pelayan menghambur masuk ke kamarnya.
"Nyonya...Nyonya," engah si pelayan wanita dengan rambut digelung hitam mengilap.
"Tuan pingsan. Steven membawanya ke sini."
Jantung Bunda Alea serasa melompat meninggalkan dadanya. Tergesa dia menuruni tangga. Lututnya lemas seketika melihat Ayah Calvin dengan wajah pias dan jas bernoda darah.
"Calvin...Calvin, oh apa yang terjadi?" ujarnya panik.
Patah-patah mereka menjelaskan. Bunda Alea berterima kasih sekali. Entah apa yang terjadi bila Steven dan teman-temannya tak turun tangan.