"Apakah Jose masih kurang."
"Bukan...kami inginnya darimu. Sayang ya, suamimu tidak sekuat itu."
Rentetan dialog itu menggoreskan kepedihan. Ada tanda menyalahkan, tanda menghakimi. Sungguh, ini pengalaman baru buat Bunda Alea. Ia terbiasa mendengar stereotip buruk untuk wanita. Sebaliknya, kini stereotip berbalik. Menghantam pihak yang tak pernah disalahkan sebelumnya.
Dalam gerakan slow motion, Bunda Alea memeluk Ayah Calvin. Keduanya berengkuhan, erat dan lama. Hangat mengaliri tubuh mereka berdua.
"Kau masih bisa memelukku. Hari ini, besok, dan selamanya." ucap Bunda Alea.
"Bagaimana jika kakak dan adikmu menginginkan perpisahan? Mereka tidak akan mengerti, Alea." ungkap Ayah Calvin sedih.
"Pilihan ada di tanganku. Kupilih kamu dengan hati. Kupilih kamu untuk menemaniku di dunia dan semoga di akhirat."
Keduanya bertatapan. Cinta mengalir dalam tatap. Sebentuk cinta platonis tanpa hasrat seks. Biarlah, biarlah orang-orang di luar sana gagal paham. Pilihan ini, toh mereka yang menjalani.
Ayah Calvin menyentuhkan keningnya ke kening Bunda Alea. Dua raut wajah cantik dan tampan itu tak lagi berjarak. Demi bulan terbelah yang pernah disaksikan sendiri oleh Rasul terakhir, mereka berdua ingin terus begini. Terus bersama selamanya, di kehidupan fana dan kehidupan kekal.
"Temani aku, Calvin. Temani aku sampai akhirat." Bunda Alea berkata penuh kesungguhan.
Langit di atas mereka tersenyum. Merekahkan warna biru bersih. Awan-awan seputih kapas tertawa bahagia menyaksikan pria berjas hitam dan wanita bergaun putih yang kini berpelukan untuk kedua kalinya.