Steven membeku. Tangannya yang belepotan krim menggantung bagai robot kehabisan baterai. Di pikirannya, terbayang wajah sang ibu. Ibunya akan kecewa sekali jika tahu dirinya dihukum.
"Miss harusnya menghukum saya juga. Cup cake itu kan dari saya." Jose berkata tegas.
"Oh tidak, Jose. Tetap di tempatmu. Kamu lagi sakit..."
"Sakit bukan alasan buat lari dari hukuman, kan? Hhukumlah anak Ayah Calvin, baru adil."
Seisi kelas terkagum-kagum. Di saat gerombolan orang dewasa yang disebut koruptor pura-pura sakit agar terhindar dari hukuman, anak belia seusia Jose justru tak ingin lari. Lutut Ms. Erika melemas. Dia tak menyangka, sungguh tak menyangka Jose sesportif itu.
Jose menarik tangan Steven. Mereka berdua keluar kelas. Dua puluh lima pasang mata mengikuti mereka.
Di luar kelas, Steven berulang kali minta maaf. Hatinya dipukul rasa bersalah. Gegara dia, Jose dihukum. Jose menepis permintaan maaf Steven. Baginya, tidak ada yang perlu dimaafkan.
"Oh ya, memangnya kamu sakit apa sih?" tanya Steven penasaran.
"Kamu nggak perlu tahu. Nggak penting." Jose mengelak.
Steven tak memaksa. Diperhatikannya Jose yang melempar pandang rindu ke arah lapangan basket. Bukannya Jose jago main basket? Mengapa Steven tak pernah melihatnya memberikan tembakan indah ke dalam ring?
"Mau main basket? Aku temenin yuk...walaupun aku nggak bisa-bisa amat sih." Steven menawari.