** Â Â
Berpasang-pasang mata menatapnya dingin. Menginspeksi tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Calvin melepas kacamata, membersihkan benda bulat bening itu dengan jasnya.
"Kau tak diinginkan,"
"Kami butuh Alea, bukan kau."
"Pulang sana ke rumah keluargamu. Minum-minumlah arak dengan mereka, dan jangan racuni otak adik kami lagi."
Suara-suara bernada angkuh menggelegar di depan ruang operasi. Calvin terbiasa, sangat terbiasa. Keluarga Alea menolak dan melukainya berkali-kali. Mereka menyakiti orang kuat. Tekanan berulang dan luka batin membuat Calvin tegar.
"Saya hanya peduli. Apa pun reaksi kalian, saya akan tetap di sini." kata Calvin, tenang dan berwibawa.
Mereka tersenyum sinis. Orang luar mungkin akan memuji ketulusan Calvin. Sayangnya, mata hati keluarga Alea tertutup kebencian dan prasangka.
Beberapa jam kemudian, operasi selesai. Calvin menjaga ibu keduanya dengan sabar. Ia temani sang Mama dari pagi hingga pagi lagi. Lelah di tubuhnya ia abaikan. Meski responnya seperti...
"Jangan panggil aku Mama! Kenapa bukan Alea yang datang?" sergah Nyonya Adeline.
"Alea sibuk, Ma. Izinkan saya merawat Mama semampunya." Calvin menjawab lembut.