Sedan metalik meluncur mendekat. Anak laki-laki bertubuh tinggi dan berwajah oriental khas peranakan melompat turun. Ibunya menyusul di belakang. Walaupun berambut pendek, ibu anak itu nampak cantik.
"Jose...pelan-pelan, Nak. Nanti kamu jatuh." tegur si ibu dengan nada halus.
Calvin memberi tatapan menenteramkan. "Dia akan baik-baik saja, Syifa. Sini, Sayang...sini."
Jose Diaz Wirawan, anak yang penuh semangat meski penglihatannya terus menurun. Ia tetap berprestasi dengan mempertahankan sisa matanya. Semester lalu, Jose juara kelas. Peringkatnya bersaing ketat dengan Sivia.
Kini si juara kelas menempel erat di dada Calvin. Syifa menelan saliva, miris bercampur bahagia. Kebahagiaan anak adalah kebahagiaan ibu. Ia miris lantaran Jose lebih dekat dengan guru musiknya ketimbang ayah kandungnya.
"Kuharap Adica tidak marah kalau kamu dan Jose sedekat ini denganku," ujar Calvin canggung.
Syifa mengangkat bahu. Suaminya jauh di Bumi Kawanua. Bagaimana ia bisa tahu?
"Apa Alea sudah pulang?" tanyanya mengalihkan topik.
Bel berbunyi. Calvin bersyukur karena tak perlu menjawab pertanyaan itu. Dibawanya Jose, Sivia, dan anak-anak ke ruang musik.
Pelajaran musik berlangsung menyenangkan. Calvin mengajari murid-muridnya membaca not balok. Ia juga membuatkan notasi berhuruf Braille untuk Jose dan Sivia.
Keasyikannya mengajar terganggu oleh rasa sakit. Serangan di dada kiri itu, datang lagi. Refleks Calvin memegangi dadanya. Sakit itu menjalar, terus menjalar hingga ke punggung.