"Ayah...Ayah Calvin kenapa?" tanya Sivia khawatir.
Calvin tersenyum. Dimintanya Sivia dan teman-teman sekelasnya agar tidak khawatir. Bagaimana mereka tidak khawatir? Guru favorit mereka terlihat sakit.
Sisa pelajaran lewat dalam cemas. Dering bel tanda akhir pelajaran bersamaan dengan getaran iPhone di tangan Calvin. Sekali, dua kali, tiga kali, benda silver itu terus-terusan bergetar.
Ternyata chat dari grup keluarga. Ada apa ini? Perasaan Calvin tak enak.
"Mama jatuh di kamar mandi. Ada kerusakan di tulangnya. Harus operasi."
Mata Calvin melebar tak percaya. Operasi? Kekhawatiran menyergap hatinya.
Ya, Calvin lebih mengkhawatirkan Mamanya Alea dibanding kondisi tubuhnya sendiri. Bagaimana pun keluarga besar Alea memperlakukannya, Calvin tetaplah bagian dari mereka. Kepedulian Calvin pada mereka begitu besar.
Beberapa hari ini, Alea slit dihubungi. Jahat rasanya bila Calvin diam saja. Ungkapan doa via sosmed takkan membantu. Orang butuh aksi nyata, bukan ungkapan maya. Jarak Semarang dengan ibu kota tidaklah dekat. Namun jika dia bisa mendapat flight tercepat...
"Syifa, bisa aku titip Sivia padamu?" Calvin setengah memohon.
"Tentu saja. Kau mau kemana?"
Tanpa jawaban, Calvin memeluk singkat Sivia lalu bergegas mengendarai mobilnya. Dalam perjalanan, dia menelepon stafnya untuk mencarikan tiket pesawat. Niat berbaik bersambut kemudahan. Masih ada satu kursi dalam penerbangan tercepat dua jam lagi.