Bagian 1
Satu fragmen panjang hari baru menghampirinya lagi. Satu hari. Ya, ia masih diberikan satu hari lagi oleh pemilik skenario hidup.
Ia bangkit di saat yang lain masih terlelap. Lembut dan hati-hati, dilepasnya tubuh gadis kecil berparas cantik yang dipeluknya semalaman. Amat berharap putri tunggalnya tak terbangun dan berujung tangisan.
AC dimatikan. Tirai putih disingkap. Sebaris cahaya bulan dan kerlip lemah bintang menyeruak masuk. Ia tengadahkan wajah tampannya. Mata sipitnya menatap langit.
"Terima kasih untuk satu kesempatan lagi..."
Sakit yang sama, menyergap tubuhnya.
** Â Â
Jam besar di ruang duduk berdentang empat kali. Dentang jam sukses membangunkan gadis kecilnya. Iris kebiruan milik sang putri membuka lebar.
"Ayaaaah!" teriaknya keras-keras.
Jeritan putri kecilnya merebut atensi. Cepat-cepat ia kembali ke tepi ranjang. Bibirnya menyentuh kening mulus kanak-kanak berwajah perpaduan Manado-Belanda itu.
"Selamat pagi, Sivia Sayang." bisiknya.
"Sivia nggak mau ditinggal-tinggal. Ayah Calvin di sini aja..." rajuk Sivia manja.
Bergulirnya sang waktu tak dapat ditawar. Pelan-pelan Calvin menuntun Sivia bangun. Mengajaknya keluar kamar. Menggandengnya ke lantai bawah.
Di kaki tangga, mereka berpapasan dengan dua asisten rumah tangga. Kedua pekerja loyal itu sibuk bebersih dan meluruskan lukisan-lukisan. Mereka menawarkan diri untuk menjaga Sivia, tetapi ditolak halus oleh Calvin. Mana pernah ia percaya lagi? Cukup sekali saja Sivia diberi obat tidur dan dipukuli mantan susternya.
Calvin membawa Sivia ke dapur besar di lantai bawah. Didudukkannya Sivia di kursi kayu berukir. Pintu kulkas membuka. Hawa dingin berembus dari dalamnya. Bahan-bahan makanan masih lengkap. Bagus, ia tak perlu mengecewakan Sivia. Semalam Sivia minta dibuatkan nasi hainam untuk bekalnya. Seperti biasa, ia membawa paling sedikit lima porsi. Seporsi untuk dirinya, empat porsi lagi untuk teman-temannya.
Tangan Calvin bergerak cepat memotong ayam dan merebus kaldu. Sivia memperhatikan Ayahnya dengan kagum. Menipis penglihatannya, menebal cintanya untuk sang ayah.
Para pembantu di mansion megah berlantai tiga itu hanya mencuci pakaian dan mengurus rumah. Soal memasak dan mengurus Sivia, jangan harap Calvin akan mendelegasikannya pada orang lain. Sivia beruntung sekali memiliki Ayahnya.
Voilet, masakannya selesai. Lima porsi nasi hainam dengan kaldu lezat dan bumbu meresap. Masakan slow cook hasil tangan dingin ayah berhati tulus.
Selesai memasak, Calvin memandikan Sivia. Membimbing gadis itu berdoa. Ritual lima kali sehari-semalam itu tak boleh ditinggalkan. Sisa waktu setengah jam mereka habiskan untuk mengecek PR dan peralatan sekolah.
"Sayang...kamu di sini sebentar ya. Ayah mau berdoa dulu." kata Calvin setelah dentang jam yang keenam.
"Tadi kan Ayah udah berdoa sama Sivia! Sivia nggak mau ditinggal, nggak mauuu!" protes gadis itu.
"Ayah...Ayah butuh sendiri, Sayang. Sebentar saja...ok?"
Sivia tak bisa mencegah. Dipandanginya sosok tinggi berjas rapi itu menghilang di kaki tangga.
** Â Â
Ada kala ku merasa
Hidup ini seperti kaca
Jikalau tidak bersabar
Hancur berderailah akhirnya
Tabahkanlah hatiku melalui semua itu
Kuatkanlah jagakanlah diriku
Oh Tuhan terangkan hati dalam sanubariku
Untuk menempuhi segala hidup penuh jabaran ini
Oh Tuhan ku berserah segalanya kepadaMu
Agar jiwaku tenang dengan bimbinganMu selalu (Afgan-Kumohon).
Alih-alih berdoa dan berkontemplasi, Calvin bermain piano. Berusaha membuang kesakitannya lewat denting lembut. Sakit, sakit ini menghantam dadanya.
Sejurus kemudian, Calvin berlutut. Satu tangannya memegang prayer beads. Sekilas mirip rosario dan mala-kalung manik simbol agama Buddha-. Bukan manik-manik biasa yang melapisi benda itu, melainkan mutiara. Calvin berencana memberikannya pada Sivia kalau waktunya sudah semakin dekat.
Waktu? Kian hari, ia kian merasa pasir waktunya terus berkurang. Darah yang mengalir di tubuh fananya makin sering membeku, membentuk gumpalan-gumpalan menakutkan. Calvin takut dengan waktu. Jangan kira ia takut dengan jarum suntik, obat pengencer darah, rasa sakit yang menghebat, dan vonis dokter.
"Ya, Tuhan, kenapa dada ini makin sakit? Bagaimana bila gumpalan darah di jantungku membunuh perlahan...?" lirih Calvin.
Serangan itu lagi. Calvin mencengkeram dada kirinya. Susah payah ia meraih iPad. Dalam kesakitan, dicobanya menuliskan sesuatu.
** Â Â
"Madam Alea, are you ok?"
Seorang pria bule berambut pirang dan berkemeja abu-abu mendekatinya. Alea memalingkan pandang dari layar komputer. Matanya agak merah.
"I'm good," jawabnya tenang.
Sesaat ia tertegun dengan ucapannya sendiri. Dua kata itu, jawaban yang sering dilontarkan perekat jiwanya.
"I see the fear in your eyes." ucap si pria bule penasaran.
Tuhan mendatangkan keresahan di gedung berlapis kaca itu. Keresahan hinggap di kepala pemimpin project kesetaraan gender. Seorang wanita tangguh, cerdas, berpendidikan tinggi, dan cantik jelita meresahkan seorang pria. Pria yang berbulan-bulan ini jauh dari rengkuhannya.
Dering telepon membuat Alea terselamatkan dari keharusan menjawab. Suara soprano milik sekretarisnya terdengar.
"Bu Alea, ada telepon untuk Anda di line 1. Mau diterima? Atau Anda sibuk?"
"Dari siapa?"
"Dari Pak Calvin."
Jantung Alea bagai berhenti berdetak. Untuk apa Calvin meneleponnya ke kantor jelang makan siang begini? Tidakkah ada sesuatu yang gawat? Tapi...
"Tolong katakan saya sibuk," desahnya.
Klik. Telepon ditutup. Alea bersandar letih ke kursi putarnya. Pria bule itu masih di sana.
"Madam Alea, why don't you accept a call from your husband?" selidik si pria bule.
Alea tersentak kaget. Darimana partner kerjanya ini tahu? Kepalanya menggeleng tanpa sepotong pun jawaban.
"Oh...I know. I hear that you husband just an ordinary man. He's a teacher and freelance writer. You don't love him, right?"
Seraya berkata begitu, pria blonde tertawa. Dikiranya ini lucu. Atau, mungkin dia bermaksud menggoda wanita menawan yang telah merebut hatinya.
Bukan kali pertama Alea dimanuver begini. Puluhan project dengan pihak asing yang ditanganinya, membuat Alea berkenalan dengan pria-pria dari berbagai negara. Tak sedikit dari mitra setimnya itu memendam rasa.
"Excuse me, Mr. William. Time to meeting." sela Alea lembut.
Langkahnya anggun memasuki ruang meeting. Tepi gaun indahnya menyentuh lantai. Lagi-lagi Mr. William menatap tak berkedip perempuan berhidung mancung itu.
Alea menghempaskan tubuhnya di kursi empuk. Masih ada waktu lima menit sebelum mulai. Dibukanya e-mail. Sedetik. Tiga detik. Lima detik, beberapa baris pesan menggores dadanya.
Dear my Princess,
Pulanglah, Alea. Aku takut kehilangan waktu. Semoga kau masih mendengarkan pendamping hidupmu yang sangat biasa ini.
Aku memahami pilihanmu. Kau cantik, pilihan hidup dan prestasimu menginspirasi. Pribadimu bersinar seterang Bintang Sirius. Sedangkan aku, aku hanyalah Bintang Brown Dwarf. Bintang gagal yang bersembunyi di kegelapan langit. Aku telah kehilangan cahayaku.
Tapi kau pun harus mengerti pilihanku, Alea. Aku memilih menjadi orang biasa demi merawat gadis kecil kita. Demi anak-anak spesial yang membutuhkan kasih sayang.
Kali ini saja, kuminta padamu. Pulanglah, Alea. Pulanglah sebelum aku tak bisa memelukmu lagi.
Dari orang biasa yang mencintaimu,
Calvin Wan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H